6 Mei 2014



Jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Sebuah jam'iyyah yang semua ajarannya sudah sangat sesuai dengan tutunan Ahli al-Sunnah wa al-Jamaah, yang merupakah golongan dari 73 cabang agama Islam yang selamat. Yang mana hal ini sudah terlansir dalam Hadits Rosululloh SAW, yang berbunyi,

افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً , وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ , إلَّا وَاحِدَةً . قِيلَ : مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي  .
Agama Yahudi dan Nashrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan Ummatku kelak akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya akan terjerumus ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Kemudia ditanyakan :" Golongan siapa mereka (yang selamat) wahai Rosululloh ?" Beliau menjawab :"mereka adalah golongan yang sesuai dengan aku dan para sahabatku"

Besarnya Jam'iyyah itu tidaklah terlepas dari perjuangan keras para ulama terdahulu yang mendirikannya. Para Ulama tersebut kemudia dikenal dengan Garda depan berdirinya NU. Beliau adalah : KH. Hasyim Asy'ari (Jombang), KH. Abd. Karim (Mbah Manaf, Lirboyo), KH. Abd. Wahhab Hasbulloh (Jombang), KH. Bisyri Sansyuri (tambakberas), KH. Munawwir (Krapyak, Yogyakarta) KH. Ma'shum (Lasem), KH. Abdulloh Mubarok (Suryalaya, Tasikmalaya), KH. Nawawie Hur Hasan (Sidogiri, Pasuruan), KH. As'ad Syamsul Arifin (Asembagus, Situbondo), KH. Muhammad Shiddiq (Jember).

Dalam edisi bulan ini, kami sedikit meriwayatkan sekelumit sirah salah satu promotor lahirnya Jam'iyyah Nahdlatul Ulama yaitu KH. Hasyim Asy'ari.

I. Silsilah dan masa Tholabul Ilmi. 
Beliau adalah Muhammad Hasyim bin Asy'ari bin Abd. Wahid bin Abd. Halim (Pangeran Benawa) bin Abd. Rahman (Jaka Tingkir) bin Sulthan Hadi Wijaya bin Abdulloh bin Abd. Aziz bin Abd. Fattah bin Maulana Ishaq, Ayahanda Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri)  

Awal pendidikannya di masa kanak-kanak tertangani langsung oleh Ayahandanya sendiri, yang kemudian bergabung dengan santri lainnya di pesantren asuhan sang Ayah. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan dan kesungguhannya dalam menuntut Ilmu. Dari ayahnya-lah dia belajar Al-Qur'an dan kitab-kitab diniyyah lain sampai menjelang usia baligh. Setelah dirasa cukup umur, ia berangkat menimba pengetahuan di luar kampung halamannya. Pesantren pertama yang disinggahinya adalah Pondok Pesantren Wonokojo di Probolinggo, kemudian pindah ke pesantren Langitan Tuban. Dua tahun kemudian ia meneruskan pengembaraannya di pesantren Bangkalan, Madura. Tidak lama ia di pesantren asuhan Kiyai Kholil ini, kemudian dia meneruskan lagi ke pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, pimpinan Kiyai Ya'qub. Akhlaqnya yang terpuji, ketekunan dan kecerdasan yang memukau, memikat gurunya kiyai Ya'qub. Kerana itulah kemudian dia dinikahkan dengan putrinya yang bernama Khodijah pernikahan ini terjadi pada tahun 1892.

Tidak seberapa lama setelah menikah, Hasyim berangkat ke Makkah bersama istri dan mertuanya. Tujuannya disamping beribadah, juga untuk memperdalam ilmu pengetahuan Agama. Di sana ia pernah berguru pada Syaik Mahfudz dari Termas, Pacitan, Jawa timur, yang saat itu bermukim di Makkah. Dasar pengetahuan Agama yang telah dimilikinya selama belajar di Pondok pesantren memudahkannya untuk cepat menyerap intisari ilmu di negeri suci itu. Hasyim Asy'ari sangat tertarik dengan ilmu hadits dan Tasawwuf. Setelah kurang lebih tujuh bulah di Makkah, istrinya melahirkan seorang putra yang diberi nama Abdulloh. Namun beberapa hari setelah melahirkan, sang istri meninggal dunia, kemudian disusul putrannya yang baru berusia 40 hari. Untuk sedikit mengurangi rasa dukanya, Kiyai Ya'qub mengajak menantunya itu kembali ke tanah air.

Tahun berikutnya Hasyim kembali melanjutkan pelajarannya di Makkah. Kali ini dia disertai adiknya yang bernama Anis. Selama tujuh tahun di Makkah ia melengkapi ilmunya dengan berbagai ilmu Agama. Tidak sis-sia usahanya tersebut, akhirnya Hasyim berhasil menyelesaikan pendidikannya dan menjadi ulama yang luas dan dalam pengetahuannya. Karena itu kemudian ia diberi gelar Hadrah Al-Syaikh.
 
II. Ta'limil Ilmi sebagai Profesi. 
Mengajar adalah profesi yang ditekuninya sejak masih muda. Sejak dipondok pesantren ia sering dipercaya untuk mengajar para santri yang baru masuk pesantren. Bahkan ketika di Makkah ia-pun sudah mengajar. Sepulang dari Makkah yang kedua ini, ia membantu ayahnya mengajar dipesantren. Ngedang asuhan Ayahnya. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng, Jombang. Hasyim Asy'ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak penjudi, perampok dan pemabuk. Mulanya pilihannya itu ditentang oleh sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi Hasyim meyakinnkan mereka, bahwa dakwa Islam haruslah lebih banyak ditujukan kepada mesyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun 1899 di Tebuireng berdiri sebuah Pondok yang sangat sederhana. Beratahun-tahun Kiyai Hasyim membina pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat sekelilingnya. Akhirnya pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan pesat. Santri yang semula hanya berjumlah 28 orang, kini bertambah terus menerus hingga mencapai ribuan orang. Mereka datang dari berbagai pelosok tanah air. Kehidupan Kiyai Hasyim Asy'ari banyak tersita untuk pembinaan santri-santri itu. Tidak sedikit santri asuhan beliau yang kemudian menjadi seorang ulama besar diantaranya adalah : KH. Abd. Wahhab Hasbulloh (Jombang), KH. Bisyri Sansyuri (Tambak Beras), KHR. As'ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH. Wahid Hasyim (putranya), dan KH. Ahmad Shiddiq (Jeber)

Dalam kehidupan sehari-hari, Kiyai hasyim dikenal sangat disiplin waktu. Waktunya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sedikitpun waktu itu berlalu tampa aktivitas yang berarti. Biasanya beliau mengajar satu jam sebelum shalat fardhu lima waktu dan satu jam sesudahnya. Beliau terbiasa mengajar hingga larut malam. Pada bulan Ramadhan beliau mengajar Hadits Bukhari Muslim yang diikuti oleh santri dari berbagai pesantren untuk mendapatkan Ijazahnya. Demikianlah kerja rutin KH. Hasyim Asy'ari, waktunya seakan diabdikan hanya untuk Ilmu.


III. Promotor Lahirnya NU dan sebagai Pejuang pembela Bangsa. 
Pada tahun 1926 M. tepatnya tanggal 16 Rojab 1344 H. bersama KH. Abd. Wahhab Hasbulloh dam KH. Bisyri Sansyuri serta Kiyai yang lainnya, Kiyai Hasyim memprakarsai lahirnya sebuah Organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yaitu Jamiyyah Nahdlotul Ulama (NU). Sejak awal berdirinya Kiyai Hasyim dipercaya untuk memimipin organisasi itu sebagai rais Akbar. Jabatan ini dipegangnya dalam beberapa periode kepengurusan.

Pada tahun 1930 M, Dalam Muktamar NU ke tiga, Kiyai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal dengan Qonun Asasi Jam'iyyah NU. (Undang-undang Dasar Jam'iyyah NU). Intisari dari Qonun itu mencakup :
1.      Latar belakang berdirinya Jam'iyyah NU.
2.      Hakikat dan Jatidiri Jam'iyyah NU.
3.      Potensi ummat yang diharapkan akan menjadi pendukung NU
4.      Perlunya Ulama bersatu (ijtima'), saling mengenal (ta'arruf), rukun bersatu (ittihad), dan saling mengasihi satu sama yang lain (ta'alluf) didalam satu wadah yang dinamakan NU.
5.      Keharusan warga NU bertaqlid salah satu pendapat Imam Madzhab yang emapat (Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hambali)

Diceritakan oleh H. Abu Bakar Atjeh dalam Sejarah Hidup KH. Abdul Wahid Hasyim bahwa pad atahun 1937 datang seorang amtenar tinggi penguasa belanda menjumpai Kiyai Hasyim. Kedatangannya adalah untuk menyampaikan tanda kehormatan pemerintah belanda kepadanya berupa bintang emas. Namun tampa diduga sebelumnya ternyata dengan tegas Kiyai Hasyim menolak pemberian itu. Penolakannya bukan tampa alasan, namun beliau kawatir keikhlasan hatinya dalam beramal akan ternoda oleh hal-hal yang sifatnya materiel.

Pada masa revolusi fisik melawan penjajah Belanda tersebut, KH. Hasyi dikenal dengan ketegasannya terhadap penjajah dan seruan jihadnya yang menggelorakan para santri dan masyarakat Islam Indonesia saat itu.
Demikian pula halnya di masa pemerintah Jepang, Pada tahun 1942, tatkala penguasa Jepang menduduki tanah kelahirannya Jombang, KH. Hasyim ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan. Lalu diasingkan ke Mojokerto untuk ditawan bersama-sama dengan serdadu-serdadu sekutu. Berbulan-bulan beliau harus menjalani hari-hari kelabunya di dalam penjara tampa mengetahui kesalahan apa yang dituduhkan atas dirinya.

IV. Wafat dan Karya Ilmiyahnya. 
Tanpa perlu diragukan lagi kedalaman ilmu KH. Hasyim Asy'ari. Selain dikenal dengan figur ulama pejuang pembela bangsa, beliau juga seorang ulama yang produktif. Di sela-sela kesibukan ngurusi ummat, beliau masih menyempatkan diri menuangkan buah pikirannya menjadi karya tulis ilmiayah. Sebagian karya itu adalah:
1.      Adab al-'Alim wa al-Muta'allim. Sebuah karya yang didalanya menerangkan etika seseorang dalam proses  belajar mengajar.
2.      Ziyadah Ta'liqaat. Sebuah karya untuk mengcounter Syaikh Abdulloh bin Yasin Pasuruan, yang menyindir Warga Jam'iyyah Nahdhotul Ulama melalui kalam Syairnya.
3.      Al-Tanbihaat wa al-Wajibaat. Menerangkan seseorang yang mengadakan acara Maulid dengan diisi hal-hal yang melanggar syara' (mungkaroot)
4.      Al-Risalah al-Jami'ah. Dalam karya ini, beliau menjelaskan beberapa tingkah orang-orang yang telah meninggal dan menerangkan tanda-tanda datangnya Hari Qiyamat serta menjelaskan perbedaan Sunnah dan Bid'ah.
5.      Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyidil Mursalin. Berisi penjelasan tentang arti cinta terhadap Rosululloh SAW. Serta hal-hal yang sangat erat hubungannya dengan cinta itu sendiri, yaitu dengan mengikuti jejak langkah dan senantiasa menhidupkan sunnah Rosululloh SAW.
6.       Hasyiyah 'ala Fath al-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan.
7.      Al-Duror al-Mantsuroh fi Masail al-tis'ah 'Asyaroh. Berisi penjelasan tentang Thoriqoh dan sifat kewalian. Serta hal-hal yang amat penting untuk ahli thoriqoh.
8.      Al-Tibyan fi al-nahyi 'an Muqoto'ati al-Arham wa al-Aqorib wa al-Ikhwan. Penjelasan tentang pentingnya silaturrohmi dan bahayanya memutus tali persaudaraan.
9.      Al-Risalah al-Tauhidiyyah. Karya kecil tentang 'aqidah Ahli Sunnah wal Jama'ah.
10.  Dal lain-lain.

Kalau gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang, sedangkan seorang Ulama mati, meninggalkan kenangan dan karya-karyanya sebagai penuntun genarasi berikutnya. Demikianlah sejarah kehidupan sehari-hari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari, hingga beliau wafat pada tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Semoga kita senantiasa dapat menteladani tindak lakunya, dan dapat meneruskan pejuangan beliau dalan Jam'iyyah Nahdlatu Ulama. Amien….      

12 Juni 2013


           Senada dengan kitab al-Furu’, di dalam kitab al-Inshaf fi Masa'il al-Khilaf disebutkan bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jailani menulis di dalam kitabnya al-Ghuniah, sesungguhnya Allah memilih empat bulan di antara bulan-bulan, yaitu Rajab, Sya'ban, Ramadlan, dan Muharram, dan Allah memilih bulan Sya'ban sebagai bulan Nabi, seperti halnya nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah paling utama dari para nabi, maka bulannya adalah bulan yang paling utama.

            Memasuki bulan Sya'ban yang pada tahun ini bertepatan dengan tanggal 10 Juni 2013 patutlah kita membuka kembali jejak masa lalu, apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad saw, seperti apa ibadahnya di bulan itu, dan sudah sesuaikah kita dalam meniru perbuatan dan ibadahnya. Tak sedikit orang yang menganggap bahwa setiap bulan itu biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa, tak sedikit pula yang mengetahui ada waktu yang diistimewakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala namun disambut dengan biasa-biasa saja tanpa ada peningkatan amal ibadah, namun tak jarang dari kita yang ingin mengambil kesempatan dari waktu-waktu yang istimewa dengan memperbanyak amal ibadah, akan tetapi karena kekurang-tahuan dalam masalah agama menyebabkan ibadah kita kurang sesuai dengan tuntunan syari'at.

            Rasulullah saw  sendiri sebagai barometer utama umat Islam di dalam bulan Sya'ban memperbanyak berpuasa dari pada bulan-bulan yang lain (selain bulan Ramadlan), puasa beliau di bulan lain tidak sebanyak yang beliau lakukan di bulan Sya’ban. A'isyah ra berkata :

وما رأيته أكثر صياما منه من شعبان (رواه مسلم)

Artinya: "Dan aku tidak pernah melihatnya (nabi Muhammad saw) memperbanyak puasa (di bulan lain) daripada bulan Sya'ban." (HR. Muslim).  Puasa di bulan Sya'ban di dalam keutamaannya menempati urutan kedua setelah puasa bulan Ramadlan. Amal perbuatan diangkat ke langit untuk dihadapkan kepada Tuhan, dan malaikat maut mencatat pada bulan Sya'ban setiap orang yang hendak dicabut nyawanya, itulah alasan mengapa Rasulullah saw memperbanyak berpuasa di bulan tersebut seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Muhib al-Thabari. Juga hadits riwayat Usamah, ia pernah bertanya kepada Nabi: Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain seperti halnya engkau berpuasa di bulan Sya’ban? menjawab Nabi Muhammad saw, Sya’ban adalah bulan yang dilupakan manusia yang ada di antara bulan Rajab dan bulan Ramadlan, di bulan itu setiap amal dihadapkan kepada Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku dihadapkan aku sedang berpuasa. (HR. al-Nasa’i dan Abu Daud).


Nishfu Sya'ban
            Daripada malam-malam lain di bulan Sya'ban, malam tanggal lima belas adalah yang paling istimewa. Malam yang masyhur dengan sebutan Lailah Nishfi Sya'ban (malam separuh bulan Sya'ban) ini dipenuhi kucuran rahmat dan ampunan, pintu langit dibuka siap menyambut hamba-hamba Allah azza wa jalla yang sudi menengadahkan tangan meneteskan air mata untuk berdoa, bersujud memohon ampun serta memperbanyak berdzikir mengingat Allah.

            Di dalam hadits shahih Imam Ibnu Hibban meriwayatkan perihal keutamaan malam kelima belas bulan Sya'ban, berkata A'isyah istri Rasulullah saw; suatu ketika Rasulullah tidak ada di rumah, beliau pergi entah kemana, kemudian aku mencarinya keluar, ternyata beliau berada di suatu tempat bernama al-Baqi' tengah mengangkat tangan keatas, begitu melihatku beliau bertanya; apakah kamu takut Allah dan Rasulnya berbuat tidak adil kepadamu?, aku menjawab; Aku hanya menyangka engkau bersama istrimu yang lain, kemudian beliau bersabda; Sesungguhnya (rahmat) Allah pada malam Nishfu Sya’ban turun ke langit dunia, maka Allah mengampuni dosa melebihi banyaknya bulu domba milik bani Kalb (pada waktu itu tidak ada yang memiliki domba sebanyak bani Kalb).

            Hadits di atas menunjukkan disunatkannya memperbanyak ibadah, berdoa, ziarah kubur, mendoakan mayit dan segala macam ibadah lain di malam tersebut selama tidak bertentangan dengan tuntunan syari’at. Yang membedakan malam Nishfu Sya’ban dengan malam-malam yang lain adalah di malam itu mulai dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar dipenuhi rahmat Allah, bukan hanya di sepertiga malam yang akhir. Bentuk ibadah yang sunat dilakukan bukan khusus ibadah shalat saja, akan tetapi disunatkan memperbanyak segala macam bentuk ibadah. Sedangkan di dalam kitab Kanzu al-Najah wa al-Surur di sunatkan untuk membaca surat Yasin tiga kali.

            Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang masalah shalat yang khusus dilakukan di malam Nishfu Sya’ban (dengan niat shalat Nishfu Sya’ban dan dengan cara-cara khusus, seperti jumlah rakaat seratus), tepatnya antara ulama ahli fiqih dengan ulama sufi (tasawwuf) saling berselisih paham tentang hukum shalat Nishfu Sya’ban, shalat yang dilakukan seratus rakaat di malam Nishfu Sya’ban. Di antara yang mewakili ulama ahli fiqih adalah Imam Nawawi, al-Subuki, Ibnu Hajar, mereka mengatakan bahwa walaupun disunatkan memperbanyak ibadah di malam tersebut, akan tetapi mengkhususkan shalat dengan cara tertentu untuk malam Nishfu Sya’ban adalah bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela), keluar dari tuntunan yang ditetapkan syari’at, shalat tersebut baik dilakukan secara berjamaah maupun sendirian hukumnya haram dan tidak sah, adapun hadits-hadits yang mensunatkannya adalah hadits-hadits maudlu’.

            Sedangkan Imam al-Ghazali, Ali al-Qari, Abu Thalib al-Maki mengatakan seratus rakaat di malam itu adalah sunat berdasar beberapa hadits, mereka menyangkal bahwa bukan berarti tidak diketahuinya beberapa periwayat hadits menyebabkan ke-maudlu’-annya, hendaklah hadits-hadits itu dihukumi dla’if (lemah), dan sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa menggunakan hadits dla’if untuk amalan-amalan sunat adalah boleh. Bahkan Imam Abu al-Laits mengatakan “Jangan didengar pendapat yang mencaci (terhadap shalat Lailatul Qadar dan shalat Nishfu Sya’ban), sebab mereka tidak merasakan manisnya bermunajat, dan syahdunya ibadah.” Sedangkan pendapat lain yang menengah-nengahi adalah pendapat dari madzhab Hanafi yang mengatakan boleh dilakukan dengan syarat sendirian (tidak berjamaah).

            Sebenarnya para ulama yang mengharamkannya sudah memberi solusi jika kita ingin pada malam Nishfu Sya’ban tersebut diisi dengan ibadah shalat yang sesuai dengan tuntunan syari’at dan berdsar pada dalil yang jelas, yakni dengan cara shalat sunat biasa (mutlak) sebanyak-banyaknya, atau shalat tahajjud jika kita bangun tidur, yang penting tidak usah diniati shalat Nishfu Sya’ban. Dengan cara seperti itu shalat kita tidak dipertentangkan keabsahan dan kesunatannya. Absh

14 Mei 2013

Prosesi Tajhiz Mayit
Pondok Pesantren adalah satu-satunya lembaga yang menuntut  seseorang membuka kedua mata untuk memandang masa depan dengan cerah, mengajarkan untuk memanfaatkan hidup di dunia dengan se

baik-baiknya, tanpa sedikitpun melupakan akhirat yang lebih panjang perjalanannya.

Walau pondok pesantren hanya dipandang sebelah mata, karena tak mampu mencetak “D”, “S dan sesamanya. Namun dalam pandangan masyarakat umum, santri jauh lebih disegani, hal ini nampak dari aktifitas kemasyarakatan yang pada umumnya di handle oleh para santri, misalnya guru TK/RA, guru-guru agama SD/SMP dan lain sebagainya, bahkan dalam hal ini santri jauh lebih berpotensi, meski tidak pernah belajar di perguruan tinggi.

Memang untuk saat ini pemerintah hanya menggembar-gemborkan gelar, yang gurunya harus minimal S1-lah, yang penghulunya harus SH-lah, inilah, itulah, yang jelas tidak masuk akal sehat. Dalam melancarkan propagandanya, pemerintah menjanjikan honor yang lebih tinggi atau lapangan kerja yang mudah didapat dengan “S”. Ironisnya, para santri termakan oleh iming-iming dunia pemerintah.

Hai sahabat seperjuangan! mengapa harus santri yang kalah dengan pemerintah. Harusnya santri tetap teguh pendirian, bahwa santri bisa berdiri tegak tanpa uang pemerintah. Bukan saatnya kita semboyan “mengalah bukan berarti kalah”. Tapi harga diri, ketika kita meng-iya-kan program pemerintah, itu berarti kita telah menukar muru’ah (harga diri) santri, karena ustadz bukan hasil dari “kejar paket”.

Sepintas memang masuk akal jika dimakan mentah-mentah dalih pemerintah yang mengharuskan pendidikan guru baik RA/MI minimal S1, agar supaya kualitas murid lebih baik. Namun pada kenyataannya hal ini sangat tidak terbukti, karena pemerintahpun ikut andil dalam memanipulasi gelar dengan “kejar-kejaran” atau sekolah paket. Tahukah anda mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya ada pada selembar kertas, ya, dengan uang seseorang bisa membeli sebuah gelar. Lalu siapa yang akan bertanggungjawab dengan guru gelar “S” instantnya yang sangat tidak berbobot, sedang pemerintah tidak mau tahu dengan hasilnya, karena mereka terlalu enak duduk di kursi dan tidak mau terjun ke lapangan. Bahkan dengan keangkuhannya hanya bisa bersikeras Seng jelas kudu S1”. Subhanallah.......

Pemantapan Akidah Aswaja
Lalu mau dibawa kemana Bangsa Indonesia kedepannya? Harusnya jika demi potensi generasi yang menjadi dalih, pemerintah bisa melakukan tes kelayakan guru, bukan hanya membuka peluang dengan hanya memandang gelar atau nilai ijazah yang tidak murni dihasilkan dari kerja otaknya. Ada pula yang mengemukakan alasan agar Bangsa Indonesia tidak dipandang rendah oleh bangsa lain. Ok! Hal ini juga sepintas masuk akal, namun jika manipulasi gelar itu masih terus berlangsung, apakah tidak lebih memalukan dunia pendidikan!. Cobalah kita menengok, bagaima Jepang bisa menjadi nomer wahid di dunia teknologi? Karena mereka menomer-satukan kemampuan daripada hanya sebuah gelar fiktif. 

Berdiri Sendiri
Tugas seorang santri saat ini adalah berdiri tegak tanpa menggantungkan diri kepada pemerintah. Biarkan saja pemerintah menganggap jebolan pondok pesantren hanyalah guru spiritual yang lugu. Namun kita buktikan bahwa santri lebih profesional dan tidak ketinggalan jaman. Maka wahai santri, tetaplah kita pertahankan ijazah tak bergaruda kita, mari kita buktikan bersama-sama bahwa kita lebih layak. Yakinlah bahwa Santri jauh lebih banyak yang potensial daripada hanya sekedar “S.

Tujuan Mencari Ilmu
Apa yang dikejar dalam sekolah pencetak gelar?, hanya sebuah materi yang nilainya hanyalah sebuah bentuk kepuasan dunia. Banyak para santri yang sudah menjadi guru disegani dan dihormati, tetapi masih kurang puas dengan apa yang ia dapat hingga harus jatuh bangun sekolah kejar-kejaran demi sebuah kucuran dana yang dijanjikan oleh pemerintah yang lambat laun tanpa sadar akan membuahkan ketamakan.

Karena, selain pondok pesantren yang kata orang ketinggalan jaman, tidak ada lembaga-lembaga yang mengajarkan bahwa dunia ini adalah milik orang-orang yang meninggalkannya, dunia akan terasa luas bagi orang yang puas dengan apa yang ia dapat. Pondok pesantren mengajarkan, inilah kami para santri dengan budaya santri yang tampil apa adanya.

Ketulusan
Santri! Ketahuilah bahwa “santri” dengan sendirinya sudah menjadi maha sarjana meski tanpa gelar “S” atau sesamanya. Disadari atau tidak, “S” hanyalah sebuah sarana di mana fulus menjadi mulus, bukan sebuah gelar yang disandang dengan ikhlas dan tulus. Terbukti ketika santri hanya menyandang gelar ustadz dengan bisyaroh yang apa adanya, mereka akan berucap syukur alhamdulillah. Namun, demikian itu akan berubah saat S” sudah menjadi gelar tambahan mereka.
Lalu dengan realita seperti ini, apakah mereka tidak segan mengatakan bahwa “GURU adalah PAHLAWAN TANPA TANDA JASA”. Sedang sekolah-sekolah yang kini sudah mendapatkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) masih saja memungut dana yang katanya untuk pembayaran kegiatan ekstra kurikuler yang cukup memberatkan. Memang ilmu itu mahal, tapi mereka yang berkehidupan pas-pasan, hal itu akan sangat membebani diluar kemampuan mereka, sehingga banyak siswa yang tidak mampu berhenti sekolah, mereka tidak bisa lagi mengenyam pendidikan yang sangat mahal hanya karena keserakan orang-orang yang tak berperasaan.

Jangan mengira bahwa ijasah tanpa garuda tidak bisa terbang tinggi, karena ijasah kita adalah ayat:
يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين اوتوا العلم درجات
Ayat di atas memiliki arti jauh lebih tinggi dan abadi serta jauh lebih mengangkat martabat penuntut ilmu daripada garuda yang takkan lagi mampu terbang tinggi saat sayapnya rapuh dan hanya berumur sementara. Dalam hal ini sama sekali saya tidak bermaksud meremehkan atau menyepelekan lambing-lambang Negara sedikitpun. Namun, hanya mencoba menyelaraskan pemikiran tentang anggapan-anggapan miring mengenai ijasah ber-garuda vs ijazah ber-ayat Al-Qur’an. Dari sudut pandang yang mana ijasah tersebut dikatakan tidak dapat dipertanggung-jawabkan kualitas dan kuantitasnya? padahal ijazah itu jelas diraih oleh para santri dengan Study Full Day, riyadloh, dan tanpa contek-menyontek massal. Hal ini jelas berbeda dengan ijazah Garuda yang sudah menjadi rahasia umum bahwa ijazah tersebut diraih dengan cara yang curang.

Belum lagi kelakuan para siswa yang sering keluyuran dijalanan, urak-urakan, menyia-nyiakan waktu mereka demi kesenangan yang mereka buat sebagai dalil penghilang stress, lalu inikah yang akan menjadi masa depan bangsa yang dapat dibanggakan?. Tidakkah lebih bermanfaat jika penghilang stress itu adalah istirahat di rumah, sholat, mengaji atau apalah yang lebih bermanfaat dan lebih bisa mengangkat harkat dan martabatnya.

Demi Agama, Bangsa dan Negara
Indonesia adalah negara bodoh, negara miskin, negara pembantu, dan negara pengemis. Itulah predikat yang sering didapatkan oleh Bangsa Indonesia  dari negara tetangga. Sungguh menyayat hati, namun bagaimana mungkin negara-negara lain tidak mengatakan Indonesia adalah negara yang bodoh, sedang kita memang mudah dikibuli.

Jika seseorang dikatakan sebagai orang yang bodoh, sebodoh apapun dia saya yakin dia tidak akan terima, bahkan ia akan menepis semua tuduhan-tuduhan tersebut dengan menunjukkan kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya. Lalu mengapa hal ini tidak dilakukan untuk bangsa dan negara, tidakkah kita tahu bahwa cinta kita pada negara adalah sebagian dari iman. Cinta bukan hanya setia menemani, namun harus dibuktikan dengan sikap yang patut dibanggakan oleh negara yang kita cintai. Agar tidak ada sedikitpun alasan bagi mereka untuk melecehkan bangsa kita.

Namun, melihat fakta yang terjadi pada kebanyakan muda-mudi bangsa kita, jelas tidak akan bisa membawa negara ini pada keadaan yang lebih maju. Karena tidak ada keseimbangan antara pendidikan akhlak dan agama dengan pendidikan umum.
Mari kita buka hati kita untuk menanamkan rasa bahwa Indonesia milik kita bersama, entah itu “S” ataupun Santri. Dan Engkau wahai Santri! Pertahankan apa yang terbaik milik kalian demi agama, bangsa dan negara. Yakinlah bahwa engkau adalah generasi terbaik dan pantas dibanggakan.**DYN