Senada dengan kitab al-Furu’,
di dalam kitab al-Inshaf fi Masa'il al-Khilaf disebutkan bahwa Syekh
Abdul Qadir al-Jailani menulis di dalam kitabnya al-Ghuniah,
sesungguhnya Allah memilih empat bulan di antara bulan-bulan, yaitu Rajab,
Sya'ban, Ramadlan, dan Muharram, dan Allah memilih bulan Sya'ban sebagai bulan
Nabi, seperti halnya nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah
paling utama dari para nabi, maka bulannya adalah bulan yang paling utama.
Memasuki bulan Sya'ban yang pada tahun ini bertepatan
dengan tanggal 10 Juni 2013 patutlah kita membuka kembali jejak masa lalu, apa
yang dilakukan oleh nabi Muhammad saw, seperti apa ibadahnya di bulan itu, dan
sudah sesuaikah kita dalam meniru perbuatan dan ibadahnya. Tak sedikit orang
yang menganggap bahwa setiap bulan itu biasa-biasa saja, tidak ada yang
istimewa, tak sedikit pula yang mengetahui ada waktu yang diistimewakan oleh
Allah subhanahu wa ta'ala namun disambut dengan biasa-biasa saja tanpa
ada peningkatan amal ibadah, namun tak jarang dari kita yang ingin mengambil
kesempatan dari waktu-waktu yang istimewa dengan memperbanyak amal ibadah, akan
tetapi karena kekurang-tahuan dalam masalah agama menyebabkan ibadah kita
kurang sesuai dengan tuntunan syari'at.
Rasulullah saw sendiri sebagai barometer utama umat Islam di
dalam bulan Sya'ban memperbanyak berpuasa dari pada bulan-bulan yang lain
(selain bulan Ramadlan), puasa beliau di bulan lain tidak sebanyak yang beliau
lakukan di bulan Sya’ban. A'isyah ra berkata :
وما رأيته أكثر صياما منه من شعبان
(رواه مسلم)
Artinya: "Dan
aku tidak pernah melihatnya (nabi Muhammad saw) memperbanyak puasa (di bulan
lain) daripada bulan Sya'ban." (HR. Muslim). Puasa di bulan Sya'ban di dalam keutamaannya
menempati urutan kedua setelah puasa bulan Ramadlan. Amal perbuatan diangkat ke
langit untuk dihadapkan kepada Tuhan, dan malaikat maut mencatat pada bulan
Sya'ban setiap orang yang hendak dicabut nyawanya, itulah alasan mengapa
Rasulullah saw memperbanyak berpuasa di bulan tersebut seperti hadits yang
diriwayatkan oleh al-Muhib al-Thabari. Juga hadits riwayat Usamah, ia pernah bertanya kepada Nabi: Wahai
Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain seperti
halnya engkau berpuasa di bulan Sya’ban? menjawab Nabi Muhammad saw, Sya’ban
adalah bulan yang dilupakan manusia yang ada di antara bulan Rajab dan bulan
Ramadlan, di bulan itu setiap amal dihadapkan kepada Tuhan semesta alam, maka
aku ingin ketika amalku dihadapkan aku sedang berpuasa. (HR.
al-Nasa’i dan Abu Daud).
Nishfu
Sya'ban
Daripada
malam-malam lain di bulan Sya'ban, malam tanggal lima belas adalah yang paling istimewa. Malam
yang masyhur dengan sebutan Lailah Nishfi Sya'ban (malam separuh bulan
Sya'ban) ini dipenuhi kucuran rahmat dan ampunan, pintu langit dibuka siap
menyambut hamba-hamba Allah azza wa jalla yang sudi menengadahkan tangan
meneteskan air mata untuk berdoa, bersujud memohon ampun serta memperbanyak
berdzikir mengingat Allah.
Di dalam hadits shahih Imam Ibnu
Hibban meriwayatkan perihal keutamaan malam kelima belas bulan Sya'ban, berkata
A'isyah istri Rasulullah saw; suatu ketika Rasulullah tidak ada di rumah,
beliau pergi entah kemana, kemudian aku mencarinya keluar, ternyata beliau
berada di suatu tempat bernama al-Baqi' tengah mengangkat tangan keatas, begitu
melihatku beliau bertanya; apakah kamu takut Allah dan Rasulnya berbuat tidak
adil kepadamu?, aku menjawab; Aku hanya menyangka engkau bersama istrimu yang
lain, kemudian beliau bersabda; Sesungguhnya (rahmat) Allah pada malam Nishfu
Sya’ban turun ke langit dunia, maka Allah mengampuni dosa melebihi
banyaknya bulu domba milik bani Kalb (pada waktu itu tidak ada yang memiliki
domba sebanyak bani Kalb).
Hadits di atas menunjukkan
disunatkannya memperbanyak ibadah, berdoa, ziarah kubur, mendoakan mayit dan
segala macam ibadah lain di malam tersebut selama tidak bertentangan dengan
tuntunan syari’at. Yang membedakan malam Nishfu
Sya’ban dengan malam-malam yang lain adalah di malam itu mulai dari
tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar dipenuhi rahmat Allah, bukan hanya
di sepertiga malam yang akhir. Bentuk ibadah yang sunat dilakukan bukan
khusus ibadah shalat saja, akan tetapi disunatkan memperbanyak segala macam
bentuk ibadah. Sedangkan di dalam kitab Kanzu al-Najah wa al-Surur di
sunatkan untuk membaca surat
Yasin tiga kali.
Terjadi perbedaan pendapat di antara
para ulama tentang masalah shalat yang khusus dilakukan di malam Nishfu
Sya’ban (dengan niat shalat Nishfu Sya’ban dan dengan cara-cara
khusus, seperti jumlah rakaat seratus), tepatnya antara ulama ahli fiqih dengan
ulama sufi (tasawwuf) saling berselisih paham tentang hukum shalat Nishfu
Sya’ban, shalat yang dilakukan seratus rakaat di malam Nishfu Sya’ban. Di antara yang mewakili ulama ahli fiqih adalah Imam Nawawi, al-Subuki,
Ibnu Hajar, mereka mengatakan bahwa walaupun disunatkan memperbanyak ibadah di
malam tersebut, akan tetapi mengkhususkan shalat dengan cara tertentu untuk
malam Nishfu Sya’ban adalah bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela),
keluar dari tuntunan yang ditetapkan syari’at, shalat tersebut baik dilakukan
secara berjamaah maupun sendirian hukumnya haram dan tidak sah, adapun
hadits-hadits yang mensunatkannya adalah hadits-hadits maudlu’.
Sedangkan Imam al-Ghazali, Ali al-Qari, Abu
Thalib al-Maki mengatakan seratus rakaat di malam itu adalah sunat berdasar
beberapa hadits, mereka menyangkal bahwa bukan berarti tidak diketahuinya
beberapa periwayat hadits menyebabkan ke-maudlu’-annya, hendaklah
hadits-hadits itu dihukumi dla’if (lemah), dan sudah menjadi kesepakatan
ulama bahwa menggunakan hadits dla’if untuk amalan-amalan sunat adalah
boleh. Bahkan Imam Abu al-Laits mengatakan “Jangan didengar pendapat yang
mencaci (terhadap shalat Lailatul Qadar dan shalat Nishfu Sya’ban), sebab
mereka tidak merasakan manisnya bermunajat, dan syahdunya ibadah.” Sedangkan pendapat lain yang menengah-nengahi adalah pendapat dari
madzhab Hanafi yang mengatakan boleh dilakukan dengan syarat sendirian (tidak
berjamaah).
Sebenarnya para ulama yang
mengharamkannya sudah memberi solusi jika kita ingin pada malam Nishfu
Sya’ban tersebut diisi dengan ibadah shalat yang sesuai dengan tuntunan
syari’at dan berdsar pada dalil yang jelas, yakni dengan cara shalat sunat
biasa (mutlak) sebanyak-banyaknya, atau shalat tahajjud jika kita bangun
tidur, yang penting tidak usah diniati shalat Nishfu Sya’ban. Dengan
cara seperti itu shalat kita tidak dipertentangkan keabsahan dan kesunatannya. Absh
0 komentar:
Posting Komentar