12 Juni 2013


           Senada dengan kitab al-Furu’, di dalam kitab al-Inshaf fi Masa'il al-Khilaf disebutkan bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jailani menulis di dalam kitabnya al-Ghuniah, sesungguhnya Allah memilih empat bulan di antara bulan-bulan, yaitu Rajab, Sya'ban, Ramadlan, dan Muharram, dan Allah memilih bulan Sya'ban sebagai bulan Nabi, seperti halnya nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah paling utama dari para nabi, maka bulannya adalah bulan yang paling utama.

            Memasuki bulan Sya'ban yang pada tahun ini bertepatan dengan tanggal 10 Juni 2013 patutlah kita membuka kembali jejak masa lalu, apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad saw, seperti apa ibadahnya di bulan itu, dan sudah sesuaikah kita dalam meniru perbuatan dan ibadahnya. Tak sedikit orang yang menganggap bahwa setiap bulan itu biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa, tak sedikit pula yang mengetahui ada waktu yang diistimewakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala namun disambut dengan biasa-biasa saja tanpa ada peningkatan amal ibadah, namun tak jarang dari kita yang ingin mengambil kesempatan dari waktu-waktu yang istimewa dengan memperbanyak amal ibadah, akan tetapi karena kekurang-tahuan dalam masalah agama menyebabkan ibadah kita kurang sesuai dengan tuntunan syari'at.

            Rasulullah saw  sendiri sebagai barometer utama umat Islam di dalam bulan Sya'ban memperbanyak berpuasa dari pada bulan-bulan yang lain (selain bulan Ramadlan), puasa beliau di bulan lain tidak sebanyak yang beliau lakukan di bulan Sya’ban. A'isyah ra berkata :

وما رأيته أكثر صياما منه من شعبان (رواه مسلم)

Artinya: "Dan aku tidak pernah melihatnya (nabi Muhammad saw) memperbanyak puasa (di bulan lain) daripada bulan Sya'ban." (HR. Muslim).  Puasa di bulan Sya'ban di dalam keutamaannya menempati urutan kedua setelah puasa bulan Ramadlan. Amal perbuatan diangkat ke langit untuk dihadapkan kepada Tuhan, dan malaikat maut mencatat pada bulan Sya'ban setiap orang yang hendak dicabut nyawanya, itulah alasan mengapa Rasulullah saw memperbanyak berpuasa di bulan tersebut seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Muhib al-Thabari. Juga hadits riwayat Usamah, ia pernah bertanya kepada Nabi: Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain seperti halnya engkau berpuasa di bulan Sya’ban? menjawab Nabi Muhammad saw, Sya’ban adalah bulan yang dilupakan manusia yang ada di antara bulan Rajab dan bulan Ramadlan, di bulan itu setiap amal dihadapkan kepada Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku dihadapkan aku sedang berpuasa. (HR. al-Nasa’i dan Abu Daud).


Nishfu Sya'ban
            Daripada malam-malam lain di bulan Sya'ban, malam tanggal lima belas adalah yang paling istimewa. Malam yang masyhur dengan sebutan Lailah Nishfi Sya'ban (malam separuh bulan Sya'ban) ini dipenuhi kucuran rahmat dan ampunan, pintu langit dibuka siap menyambut hamba-hamba Allah azza wa jalla yang sudi menengadahkan tangan meneteskan air mata untuk berdoa, bersujud memohon ampun serta memperbanyak berdzikir mengingat Allah.

            Di dalam hadits shahih Imam Ibnu Hibban meriwayatkan perihal keutamaan malam kelima belas bulan Sya'ban, berkata A'isyah istri Rasulullah saw; suatu ketika Rasulullah tidak ada di rumah, beliau pergi entah kemana, kemudian aku mencarinya keluar, ternyata beliau berada di suatu tempat bernama al-Baqi' tengah mengangkat tangan keatas, begitu melihatku beliau bertanya; apakah kamu takut Allah dan Rasulnya berbuat tidak adil kepadamu?, aku menjawab; Aku hanya menyangka engkau bersama istrimu yang lain, kemudian beliau bersabda; Sesungguhnya (rahmat) Allah pada malam Nishfu Sya’ban turun ke langit dunia, maka Allah mengampuni dosa melebihi banyaknya bulu domba milik bani Kalb (pada waktu itu tidak ada yang memiliki domba sebanyak bani Kalb).

            Hadits di atas menunjukkan disunatkannya memperbanyak ibadah, berdoa, ziarah kubur, mendoakan mayit dan segala macam ibadah lain di malam tersebut selama tidak bertentangan dengan tuntunan syari’at. Yang membedakan malam Nishfu Sya’ban dengan malam-malam yang lain adalah di malam itu mulai dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar dipenuhi rahmat Allah, bukan hanya di sepertiga malam yang akhir. Bentuk ibadah yang sunat dilakukan bukan khusus ibadah shalat saja, akan tetapi disunatkan memperbanyak segala macam bentuk ibadah. Sedangkan di dalam kitab Kanzu al-Najah wa al-Surur di sunatkan untuk membaca surat Yasin tiga kali.

            Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang masalah shalat yang khusus dilakukan di malam Nishfu Sya’ban (dengan niat shalat Nishfu Sya’ban dan dengan cara-cara khusus, seperti jumlah rakaat seratus), tepatnya antara ulama ahli fiqih dengan ulama sufi (tasawwuf) saling berselisih paham tentang hukum shalat Nishfu Sya’ban, shalat yang dilakukan seratus rakaat di malam Nishfu Sya’ban. Di antara yang mewakili ulama ahli fiqih adalah Imam Nawawi, al-Subuki, Ibnu Hajar, mereka mengatakan bahwa walaupun disunatkan memperbanyak ibadah di malam tersebut, akan tetapi mengkhususkan shalat dengan cara tertentu untuk malam Nishfu Sya’ban adalah bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela), keluar dari tuntunan yang ditetapkan syari’at, shalat tersebut baik dilakukan secara berjamaah maupun sendirian hukumnya haram dan tidak sah, adapun hadits-hadits yang mensunatkannya adalah hadits-hadits maudlu’.

            Sedangkan Imam al-Ghazali, Ali al-Qari, Abu Thalib al-Maki mengatakan seratus rakaat di malam itu adalah sunat berdasar beberapa hadits, mereka menyangkal bahwa bukan berarti tidak diketahuinya beberapa periwayat hadits menyebabkan ke-maudlu’-annya, hendaklah hadits-hadits itu dihukumi dla’if (lemah), dan sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa menggunakan hadits dla’if untuk amalan-amalan sunat adalah boleh. Bahkan Imam Abu al-Laits mengatakan “Jangan didengar pendapat yang mencaci (terhadap shalat Lailatul Qadar dan shalat Nishfu Sya’ban), sebab mereka tidak merasakan manisnya bermunajat, dan syahdunya ibadah.” Sedangkan pendapat lain yang menengah-nengahi adalah pendapat dari madzhab Hanafi yang mengatakan boleh dilakukan dengan syarat sendirian (tidak berjamaah).

            Sebenarnya para ulama yang mengharamkannya sudah memberi solusi jika kita ingin pada malam Nishfu Sya’ban tersebut diisi dengan ibadah shalat yang sesuai dengan tuntunan syari’at dan berdsar pada dalil yang jelas, yakni dengan cara shalat sunat biasa (mutlak) sebanyak-banyaknya, atau shalat tahajjud jika kita bangun tidur, yang penting tidak usah diniati shalat Nishfu Sya’ban. Dengan cara seperti itu shalat kita tidak dipertentangkan keabsahan dan kesunatannya. Absh

14 Mei 2013

Prosesi Tajhiz Mayit
Pondok Pesantren adalah satu-satunya lembaga yang menuntut  seseorang membuka kedua mata untuk memandang masa depan dengan cerah, mengajarkan untuk memanfaatkan hidup di dunia dengan se

baik-baiknya, tanpa sedikitpun melupakan akhirat yang lebih panjang perjalanannya.

Walau pondok pesantren hanya dipandang sebelah mata, karena tak mampu mencetak “D”, “S dan sesamanya. Namun dalam pandangan masyarakat umum, santri jauh lebih disegani, hal ini nampak dari aktifitas kemasyarakatan yang pada umumnya di handle oleh para santri, misalnya guru TK/RA, guru-guru agama SD/SMP dan lain sebagainya, bahkan dalam hal ini santri jauh lebih berpotensi, meski tidak pernah belajar di perguruan tinggi.

Memang untuk saat ini pemerintah hanya menggembar-gemborkan gelar, yang gurunya harus minimal S1-lah, yang penghulunya harus SH-lah, inilah, itulah, yang jelas tidak masuk akal sehat. Dalam melancarkan propagandanya, pemerintah menjanjikan honor yang lebih tinggi atau lapangan kerja yang mudah didapat dengan “S”. Ironisnya, para santri termakan oleh iming-iming dunia pemerintah.

Hai sahabat seperjuangan! mengapa harus santri yang kalah dengan pemerintah. Harusnya santri tetap teguh pendirian, bahwa santri bisa berdiri tegak tanpa uang pemerintah. Bukan saatnya kita semboyan “mengalah bukan berarti kalah”. Tapi harga diri, ketika kita meng-iya-kan program pemerintah, itu berarti kita telah menukar muru’ah (harga diri) santri, karena ustadz bukan hasil dari “kejar paket”.

Sepintas memang masuk akal jika dimakan mentah-mentah dalih pemerintah yang mengharuskan pendidikan guru baik RA/MI minimal S1, agar supaya kualitas murid lebih baik. Namun pada kenyataannya hal ini sangat tidak terbukti, karena pemerintahpun ikut andil dalam memanipulasi gelar dengan “kejar-kejaran” atau sekolah paket. Tahukah anda mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya ada pada selembar kertas, ya, dengan uang seseorang bisa membeli sebuah gelar. Lalu siapa yang akan bertanggungjawab dengan guru gelar “S” instantnya yang sangat tidak berbobot, sedang pemerintah tidak mau tahu dengan hasilnya, karena mereka terlalu enak duduk di kursi dan tidak mau terjun ke lapangan. Bahkan dengan keangkuhannya hanya bisa bersikeras Seng jelas kudu S1”. Subhanallah.......

Pemantapan Akidah Aswaja
Lalu mau dibawa kemana Bangsa Indonesia kedepannya? Harusnya jika demi potensi generasi yang menjadi dalih, pemerintah bisa melakukan tes kelayakan guru, bukan hanya membuka peluang dengan hanya memandang gelar atau nilai ijazah yang tidak murni dihasilkan dari kerja otaknya. Ada pula yang mengemukakan alasan agar Bangsa Indonesia tidak dipandang rendah oleh bangsa lain. Ok! Hal ini juga sepintas masuk akal, namun jika manipulasi gelar itu masih terus berlangsung, apakah tidak lebih memalukan dunia pendidikan!. Cobalah kita menengok, bagaima Jepang bisa menjadi nomer wahid di dunia teknologi? Karena mereka menomer-satukan kemampuan daripada hanya sebuah gelar fiktif. 

Berdiri Sendiri
Tugas seorang santri saat ini adalah berdiri tegak tanpa menggantungkan diri kepada pemerintah. Biarkan saja pemerintah menganggap jebolan pondok pesantren hanyalah guru spiritual yang lugu. Namun kita buktikan bahwa santri lebih profesional dan tidak ketinggalan jaman. Maka wahai santri, tetaplah kita pertahankan ijazah tak bergaruda kita, mari kita buktikan bersama-sama bahwa kita lebih layak. Yakinlah bahwa Santri jauh lebih banyak yang potensial daripada hanya sekedar “S.

Tujuan Mencari Ilmu
Apa yang dikejar dalam sekolah pencetak gelar?, hanya sebuah materi yang nilainya hanyalah sebuah bentuk kepuasan dunia. Banyak para santri yang sudah menjadi guru disegani dan dihormati, tetapi masih kurang puas dengan apa yang ia dapat hingga harus jatuh bangun sekolah kejar-kejaran demi sebuah kucuran dana yang dijanjikan oleh pemerintah yang lambat laun tanpa sadar akan membuahkan ketamakan.

Karena, selain pondok pesantren yang kata orang ketinggalan jaman, tidak ada lembaga-lembaga yang mengajarkan bahwa dunia ini adalah milik orang-orang yang meninggalkannya, dunia akan terasa luas bagi orang yang puas dengan apa yang ia dapat. Pondok pesantren mengajarkan, inilah kami para santri dengan budaya santri yang tampil apa adanya.

Ketulusan
Santri! Ketahuilah bahwa “santri” dengan sendirinya sudah menjadi maha sarjana meski tanpa gelar “S” atau sesamanya. Disadari atau tidak, “S” hanyalah sebuah sarana di mana fulus menjadi mulus, bukan sebuah gelar yang disandang dengan ikhlas dan tulus. Terbukti ketika santri hanya menyandang gelar ustadz dengan bisyaroh yang apa adanya, mereka akan berucap syukur alhamdulillah. Namun, demikian itu akan berubah saat S” sudah menjadi gelar tambahan mereka.
Lalu dengan realita seperti ini, apakah mereka tidak segan mengatakan bahwa “GURU adalah PAHLAWAN TANPA TANDA JASA”. Sedang sekolah-sekolah yang kini sudah mendapatkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) masih saja memungut dana yang katanya untuk pembayaran kegiatan ekstra kurikuler yang cukup memberatkan. Memang ilmu itu mahal, tapi mereka yang berkehidupan pas-pasan, hal itu akan sangat membebani diluar kemampuan mereka, sehingga banyak siswa yang tidak mampu berhenti sekolah, mereka tidak bisa lagi mengenyam pendidikan yang sangat mahal hanya karena keserakan orang-orang yang tak berperasaan.

Jangan mengira bahwa ijasah tanpa garuda tidak bisa terbang tinggi, karena ijasah kita adalah ayat:
يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين اوتوا العلم درجات
Ayat di atas memiliki arti jauh lebih tinggi dan abadi serta jauh lebih mengangkat martabat penuntut ilmu daripada garuda yang takkan lagi mampu terbang tinggi saat sayapnya rapuh dan hanya berumur sementara. Dalam hal ini sama sekali saya tidak bermaksud meremehkan atau menyepelekan lambing-lambang Negara sedikitpun. Namun, hanya mencoba menyelaraskan pemikiran tentang anggapan-anggapan miring mengenai ijasah ber-garuda vs ijazah ber-ayat Al-Qur’an. Dari sudut pandang yang mana ijasah tersebut dikatakan tidak dapat dipertanggung-jawabkan kualitas dan kuantitasnya? padahal ijazah itu jelas diraih oleh para santri dengan Study Full Day, riyadloh, dan tanpa contek-menyontek massal. Hal ini jelas berbeda dengan ijazah Garuda yang sudah menjadi rahasia umum bahwa ijazah tersebut diraih dengan cara yang curang.

Belum lagi kelakuan para siswa yang sering keluyuran dijalanan, urak-urakan, menyia-nyiakan waktu mereka demi kesenangan yang mereka buat sebagai dalil penghilang stress, lalu inikah yang akan menjadi masa depan bangsa yang dapat dibanggakan?. Tidakkah lebih bermanfaat jika penghilang stress itu adalah istirahat di rumah, sholat, mengaji atau apalah yang lebih bermanfaat dan lebih bisa mengangkat harkat dan martabatnya.

Demi Agama, Bangsa dan Negara
Indonesia adalah negara bodoh, negara miskin, negara pembantu, dan negara pengemis. Itulah predikat yang sering didapatkan oleh Bangsa Indonesia  dari negara tetangga. Sungguh menyayat hati, namun bagaimana mungkin negara-negara lain tidak mengatakan Indonesia adalah negara yang bodoh, sedang kita memang mudah dikibuli.

Jika seseorang dikatakan sebagai orang yang bodoh, sebodoh apapun dia saya yakin dia tidak akan terima, bahkan ia akan menepis semua tuduhan-tuduhan tersebut dengan menunjukkan kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya. Lalu mengapa hal ini tidak dilakukan untuk bangsa dan negara, tidakkah kita tahu bahwa cinta kita pada negara adalah sebagian dari iman. Cinta bukan hanya setia menemani, namun harus dibuktikan dengan sikap yang patut dibanggakan oleh negara yang kita cintai. Agar tidak ada sedikitpun alasan bagi mereka untuk melecehkan bangsa kita.

Namun, melihat fakta yang terjadi pada kebanyakan muda-mudi bangsa kita, jelas tidak akan bisa membawa negara ini pada keadaan yang lebih maju. Karena tidak ada keseimbangan antara pendidikan akhlak dan agama dengan pendidikan umum.
Mari kita buka hati kita untuk menanamkan rasa bahwa Indonesia milik kita bersama, entah itu “S” ataupun Santri. Dan Engkau wahai Santri! Pertahankan apa yang terbaik milik kalian demi agama, bangsa dan negara. Yakinlah bahwa engkau adalah generasi terbaik dan pantas dibanggakan.**DYN


KH. Mas Subadar adalah tokoh ulama’ yang dikenal ahli bahtsul masa’il atau diskusi masalah agama, terutama bidang fiqh. Selain itu juga dikenal sebagai Ulama’ yang ahli ilmu falaq atau astronomi.Flowchart: Multidocument: 24 Hal itu merupakan karunia Allah yang ia terima sebab jerih payahnya menuntut ilmu sewaktu masih muda. Beliau di kenal sebagai pemuda yang ulet, giat dan rajin belajar. Hari-harinya selalu disibukkan membaca dan berfikir lil ilmi. Karena  itulah beliau selalu dekat dan disayang oleh para gurunya.

Pada tahun 1921 M, beliau dinikahkan dengan nyai Maimunah, putri dari KH. Aly Murtadlo yang ke-6, sekaligus sebagai nahkoda generasi ke II pondok pesantren Besuk setelah vakum beberapa bulan (100 hari) sepeninggal Al-Maghfurlah KH. Aly Murtadlo. Beliau dikaruniai delapan keturunan, dua orang pria dan enam perempuan. Setelah menunaikan ibadah haji beliau berganti nama KH. Baqir.

1. Tentang Mbah Badar
Hadratussyekh KH. Mas Subadar atau KH. Baqir berasal dari desa Kajen kecamatan Watusalak kabupaten Pati Jawa Tengah. Terlahir pada tahun 1889 M. Beliau merupakan cucu ke delapan dari Mbah Mutamakkin, seorang Ulama' yang dikenal oleh masyarakat daerah Jawa Tengah sebagai waliyullah. Beliau menjadi yatim setelah ditinggal wafat ayahanda kyai Tasmin ketika melaksanakan ibadah Haji di tanah haram. Baqi' al-Ghorqot, makam umum tanah suci yang menjadi tempat peristirahatan terakhir kyai Tasmin.  Semenjak itu beliau diasuh oleh pamannya sekaligus menjadi gurunya.

2.Masa mencari ilmu
Semenjak kecil kyai Mas Subadar belajar al-Qur'an dan ilmu agama lainnya kepada paman-pamannya sendiri. Diantaranya, Kyai Abdulloh Salam dan Kyai Sirojuddin. Berkat kecerdasan yang dimilikinya beberapa pelajaran dasar fiqh seperti kitab Sullam Safinah, Sullam Taufiq dan Fathul Qorib telah hatam dengan pemahaman yang tinggi. Sedangkan dibidang ilmu alat, beliau telah menguasai dengan baik kitab-kitab seperti; Sharraf, Jurumiyah, dan 'Imrity. Setelah itu beliau diperintahkan sang paman untuk menimba ilmu kepada al-Mukarrom kyai Kholil Rembang Jawa Tengah, untuk mendalami kitab al-Fiyyah Ibnu Malik. Disana beliau dikenal sebagai santri yang sangat rajin, ulet dan pintar, sehingga kyai Kholil sang guru sangat menyayanginya.

Mengerti akan kemampuan dan adanya benih-benih berkualitas dalam diri muridnya itu, Kyai Kholil memerintahkan agar beliau meneruskan ngaji ke sahabatnya di Jawa Timur yaitu al-Mukarrom KH. Nawawi Sidogiri Kraton Pasuruan. Perintah gurunya (kyai Kholil) dijunjung tinggi dan dilaksanakan. Pagi hari yang ceria itu dengan menumpang kereta api beliau berangkat ke Pasuruan mencari pondok pesantren Sidogiri dan seorang ulama' besar yang bernama al-Mukarrom KH. Nawawi Sidogiri.

Pada saat matahari hampir tenggelam, Kyai Mas Subadar sampai di stasiun pasuruan. Beliau menapakkan kakinya di stasiun itu untuk mencari seseorang yang akan memberi tambahan ilmu pada dirinya. Karena di kota santri inilah guru yang beliau cari tinggal. Gontai melangkah pasti mencari masjid yang tidak jauh dari stasiun (+1km) untuk melaksanakan shalat Maghrib dan lepaskan kepenatan setelah seharian terpaku dibangku kereta. Selesai shalat, ia keluar dari masjid dengan wajah yang nampak kebingungan. Kemana ia harus melangkah, maklum saja dia baru pertama kali menapakkan kakinya di tanah kelahiran Untung Surapati, sang pahlawan Pasuruan itu. Melihat kebingungan pemuda asing itu al-Mukarram Kyai Yasin (Kebonsari Pasuruan kerabat dekat ibu nyai Khairatun) tak sampai hati membiarkannya tersesat. Beliau hampiri dan menegur pemuda itu, seraya menyapa dari mana dan hendak kemana. Pengembara muda itu menanggapi dan menceritakan tujuannya bahwa dia bermaksud untuk  mondok dan nyantri ke pondok Sidogiri. Karena sudah malam dia dipersilahkan singggah dan menginap di kediaman kyai Yasin-Kebonsari. Pagi harinya, pemuda pemburu ilmu itu diantarkan ke pondok Sidogiri. Sejak saat itu ia resmi menjadi santri kyai Nawawi Sidogiri.

Diakui banyak orang bahwa Kyai Subadar memang pemburu ilmu sejati. Seakan tidak ada peluang untuk tidak belajar. Bukan hanya bidang alat dan fiqh yang beliau geluti, ilmu  falaq pun tak luput dari incarannya. Setiap hari pulang pergi dari Sidogiri ke desa Sladi beliau jalani dengan penuh rasa ikhlas dan semangat yang tinggi, hanya dengan satu tujuan: adalah menuntut dan mendapatkan ilmu, menghilangkan kebodohan agar selalu bisa melangkah dijalan yang diridloi Allah SWT. Di desa Sladi inilah beliau memperdalam ilmu hisab dan ilmu falaq dari kyai Hasan Asy’ari (adik sepupu KH. Aly Murtadlo). Juga dari Sladi ini, beliau mengenal kyai Mas Ahmad Zahid putra Hadrotussyeh KH. Aly Murtadlo. Semenjak itu beliau sering mampir ke Besuk dan semakin dekat hubungannya dengan kyai Hasan Asy’ari dan kyai Zahid
3.Menjadi penerus\ pengasuh generasi II pondok besuk
Tak terelakkannya kevakuman beberapa saat sepeninggal KH Aly Murtadlo adalah karena belum ada figur yang siap menjadi penggantinya. Akhirnya, keluarga Besuk berinisiatif untuk mengadakan rapat guna membahas masa depan pondok yang mulai berkembang itu. Mereka yang terlibat antara lain adalah Ibu nyai Khairatun (istri KH. Aly Murtadho), kyai Zahid (putra KH. Aly Murtadho ) kyai Hasan Asy'ari (adik sepupu KH. Aly Muratdho). Kyai Yasin- Kebonsari (kerabat dekat nyai Khairatun) untuk mencari pengganti sang ayah sebagai pengasuh pondok Besuk dengan menjodohkannya dengan putri kyai Aly yang bernama Maimunah (lahir pada tahun 1900 M.)
.
Takdir memang di tangan Allah. Kyai Hasan Asy'ari (sepupu kyai Aly Murtadlo sekaligus guru kyai Badar) menjadi mediator terjalinnya pernikahan. Beliau bersama Kyai Zahid pergi ke Sidogiri menemui kyai Nawawi agar mencari salah satu santrinya yang siap menikah dan mampu menjadi pengasuh pondok Besuk. Secara sepontan kyai Nawawi langsung menunjuk santrinya yang bernama Badar asal Kajen-Pati-Jawa Tengah. Tanpa melalui proses yang lama kyai Badar dinikahkan dengan nyai Maimunah dan menjadi pengasuh pondok pesantren Besuk priode II.

Sebetulnya kyai Subadar sudah mengenal kyai Aly Murtadlo semenjak mondok di Sidogiri, bahkan sudah pernah sowan. namun beliau belum tahu siapa kyai Aly Murtadlo sebenarnya, beliau hanya tahu kalau mertuanya itu adalah seorang sufi yang suka menyendiri tidak banyak bicara  yang ahli beribadah, itu saja. Beliau baru mengetahui siapa mertuanya sebetulnya, ketika beliau melihat beberapa kitab peninggalan mertuanya yang di letakkan di lemari. Terkejut dan terperana beliau melihatnya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya: Subhanallah ternyata kyai Aly Murtadlo bukan hanya seorang pertapa yang sufi saja, tapi lebih dari itu, adalah orang 'alim 'allamah (amat sangat berilmu tinggi) yang mastur oleh sikap tawaddu'nya. Kyai Badar membuka kitab-kitab mertuanya yang di penuhi dengan ta'liqat-ta'liqat berbahasa arab, diantaranya; kitab Tafsir Jalalain, al-Iqna' dan Bujairimi 'Ala al-Manhaj dan sebagian kitab-kitab tersebut masih tersimpan rapi di ndalem Hadratussyekh KH. Muhammad Subadar. Di era itu, kitab-kitab tersebut dibilang langka di Indonesia. Dari situlah beliau tahu bahwa mertuanya itu murid dari Ulama' besar Syekh Abu Bakar Syatho pengarang kitab I'anatut Tholibin. Dan sampai sekarang kitab I'anatut Tholibin menjadi salah satu pelajaran pokok di pondok Besuk.

  5. Kyai Subadar memenuhi panggilan Allah
Di masa Hadratussyeh KH. Mas Subadar mengasuh pondok Besuk, banyak perubahan dan kemajuan terukir di wajah pondok ini. Setapak demi setapak melangkah perlihatkan jatidiri dan kedewasaannya. Beliau disamping Faqih (ahli Fiqh) juga dikenal ahli dalam bidang ilmu falaq (astronomi) dan ilmu hisab (matematika). Dengan keahliannya itu roda ifadah wa-ta'lim (aktifitas dan studi) berputar lebih mantab, santri-santri berdatangan untuk menuntut dan memperdalam ilmu hisab dan ilmu falaq, mereka kebanyakan berasal dari Jawa Tengah dan Jember. Walhasil tersebar luas ahli-ahli ilmu hisab dan astronomi di pelosok Jawa terutama Jawa Timur. al-Marhum kyai Manan Manggisan-Tanggul-Jember yang kemudian mempunyai murid kyai Abdul Mu'thi Bangil-Pasuruan, Syayid Muhammad dari Malaysia dan KH.Achmad Baidlowi Yokyakarta adalah diantara sekian banyak Alumni yang memperdalam ilmu hisab dan astronomi di pondok pesantren Besuk asuhan kyai Mas Subadar. Beliau telah menciptakan historika pondok Besuk selangkah lebih maju.

            Dua puluh satu tahun berlalu pondok Besuk dalam mata dan jiwanya. Langkah-langkah kemajuan telah diukir jelas dalam sejarahnya. Sampai penghujung tahun 1362 H / 1942 M, tepatnya pada usia 53 tahun, Al-Maghfurlah KH. Mas Subadar pergi untuk selamanya memenuhi panggilan Sang Pencipta. Inna lillahi Wa'inna Ilaihi Roji'un. Kepada Allah SWT jualah semuanya berpaling dan kembali


KH.  Ahmad Djufri adalah salah satu tokoh ulama' besar di Pasuruan. Nama besarnya sudah dikenal oleh masyarakat di seluruh pelosok wilayah Pasuruan, bahkan sampai keluar daerah. Beliau di samping terkenal alim juga dikenal sebagai kiyai yang cerdas dalam membaca perkembangan zaman. Dunia politikpun membaur dalam kesibukannya, Beliau pernah duduk sebagai wakil rakyat di Pasuruan mewakili partai NU, maka tidak mengherankan jika beliau di segani para pejabat. Yang paling menonjol dalam pergaulannya adalah kedekatan yang luar biasa dengan para habaib (ahlul bait). KH. Ahmad Djufri dilahirkan di kota pasuruan pada tahun 1317 H. oleh pasangan suami istri KH. Djufri dan nyai Hj. Sulhah. Semenjak kanak-kanak pendidikannya ditangani langsung secara intensif oleh kedua orang tuanya, hingga beliau menghatamkan Al-Qur'an pada usia yang masih dini.

Pada tahun-tahun berikutnya beliau lalui masa remajanya dengan tanpa henti menuntut berbagai disiplin ilmu agama dari berbagai guru dan para Ulama' ternama di zamannya. Di antara guru-gurunya adalah; Syekh Abdulloh bin Yasin (Kebonsari), Kyai Toyib (Bugul Pasuruan), Kyai Dahlan (Sukunsari), Kyai Nawawi (Sidogiri), Kyai Khozin (Siwalan Panji Sidoarjo), KH. Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang) dan lain-lain. Konon KH. Ahmad bin Djufri ini sangat di cintai oleh KH. Khozin Panji-Sidoarjo. Ketika beliau mondok di sana, sering kali beliau diperintah gurunya untuk menjawab masalah keagamaan yang rumit, bahkan beliau dipercaya untuk membacakan pengajian tafsir Jalalain. Beliau juga orang pertama yang berinisiatif mengadakan majelis pembacaan kisah Isra'mi'raj di pesantren yang sebelumnya tak pernah diadakan kegiatan itu.

Beliau memiliki kesenangan khusus dalam menghadiri berbagai majelis kebaikan yang penuh dengan barokah, terutama pada majelis haul para Sadah Alawiyyin. Rasa cinta beliau terhadap para Haba'ib (para cucu-cucu Rosul) membawa kedekatan beliau dan decak kagum yang tinggi, Kyai Achmad Djufri sang pecinta sejati para Dzurriyah Nabi.Sungguh tak ber-lebihan kiranya jika sebagian Sadah Alawiyyin di Makkah Al-Mukarromah seperti Al-Habib Hasan Fad'ak, Al-Habib Muhammad bin Alawiy Al-Malikiy memberi julukan "Salman ahlul-bait" setiap kali beliau berkunjung. Beliau disambut dengan ucapan; "marhaban ya Salman ahlul-bait".

Bahkan di sela-sela kepadatan waktunya, setiap hari beliau tidak pernah lepas untuk selalu membaca shalawat dan  mengumandangkan sya'ir-sya'ir indah berisikan pujian terhadap Nabi, yang terangkum dalam kitab Burdah karya Imam Al-Busiriy r.a. sehingga Mbah Kyai Imam Sarang Rembang Jateng memberi julukan "Kyai Burdah" ketika berjumpa dengan beliau di tanah suci Mekkah. Beliau menikah dengan Khodijah, putri bungsu Al-Maghfurlah KH.Aly Murtadlo (pendiri Pondok Pesantren Besuk). Beliau dikaruniai tujuh anak, empat diantaranya meninggal sebelum menikah.

Pengasuh Generasi IV Pondok Besuk Pasuruan
            Sepeninggal KH.Masyhadi (menantu KH. Subadar), KH. Achmad Djufri menjadi  pengasuh pondok pesantren Besuk, Sebelum pindah ke besuk untuk meneruskan sebagai pengasuh Pondok Peasantren Besuk,  KH. Achmad Djufri adalah termasuk satu di antara para pejuang kota Pasuruan yang dijadikan target operasi oleh tentara penjajah Belanda, Rumah beliau bahkan dikepung dan dikuasai. Akhirnya beliau didampingi oleh Kyai Zahid (kakak ipar) hijrah ke pondok Besuk.

Konon KH. Achmad Djufri diberangkatkan dengan kendaraan cikar  (pedati) yang dipenuhi dengan muatan kayu, Beliau disembunyikan berada dalam tumpukan kayu itu. Di tengah perjalanan menuju Besuk, tepatnya di Pleret depan markas belanda, cikar itu dihentikan tentara Belanda  dan digeledah, karena dalam cikar dipenuhi tumpukan kayu, tentara Belanda enggan memeriksa ke dalam, tapi mereka tidak mau ambil resiko; kyai Zahid yang mengendalikan cikar itu disuruh turun, kemudian cikar itu diberondong dengan peluru. Setelah mereka puas kyai Zahid dipersilahkan meneruskan perjalanannya kembali.
Sesampainya di Pondok Besuk apa yang terjadi? Al-Hamdulillah kyai Achmad Djufri selamat dan tidak tergores sedikitpun.

Merintis Bacaan Rotib  Al-Haddad Untuk Santri
Ketika kita memasuki area Pondok Besuk, pada  setiap waktu isya' tiba, akan selalu terdengar bacaan Rotib Al-Haddad yang dibaca oleh para santri. Rotib Al-Haddad telah menjadi ciri khas di pondok Besuk dan setia mengiringi malam-malam Besuk selama lebih dari 40 tahun. KH.Achmad Djufri pengasuh pertama yang mengenalkan bacaan Rotib Al-Haddad pada para santri. Beliau memperoleh ijazah Rotib Al-Haddad dari al-Habib Ja'far bin Syaykhon Assegaf tokoh habaib Pasuruan kelahiran Yaman yang kemudian menetap dan dimakamkan di kota Pasuruan.

Wafatnya Sang Pemimpin
Di usia senjanya beliau masih tetap istiqomah mengajar para santri dan da'wah ke pelosok desa. Beliau  membagi waktunya sebagian untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah SWT, sebagian lagi untuk berkhidmat kepada Pondok Pesantren, dan sebagian lagi beliau habiskan waktunya untuk melayani umat dan jam'iyah NU. Aktivitas dakwah dan mengajar terus beliau jalani sampai menjelang akhir hayatnya, Pada hari jum'at malam sabtu tgl 6 Dzulqo'dah 1401 H. atau bertepatan tahun 1981 M. KH.Achmad Djufri berpulang ke rahmatullah. Beliau dimakamkan di komplek pemakaman masjid jami' Pasuruan bersanding dengan para ulama dan habaib.Peringatan haul KH.Ahmad Djufri rutin dilaksanakan pada hari ahad minggu pertama bulan Dzulqo’dah.