27 April 2013

Kebangkitan Bangsa
Sejarah keberagamaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari budaya yang telah mengakar pada urat nadi masyarakat Indonesia, sejarah panjang bangsa indonesia telah menunjukkan keberhasilan walisongo dalam mengemban tugas da’wah dengan mengunakan pendekatan-pendekatan yang dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Nusantara.
Penjajahan mengakibatkan keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat menjadi problemtika yang secara estafet berlangsung lama, hingga menggugah kesadaran semangat nasionalisme untuk bangkit.Kebangkitan nasional pada tahun 1908 menjadi embrio lahirnya semangat-semangat baru hingga menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Kaum pelajar yang muncul dari pesantren juga tak lepas turut andil untuk menjadi bagian dari semangat kebangkitan ini, hingga muncullah Nahdlatul wathan yang dimotori oleh KH Wahab Hasbullah dan Kyai Raden Mas Mansur.
Sebelumnya Kyai Wahab juga telah mendirikan Sarekat Islam cabang mekkah ketika beliau sedang belajar disana, lantas terjadi perang dunia I pada tahun 1914 berpengaruh pada stabilitas organisasi tersebut. lantas KH Wahab pulang mendirikan Nahdlatul tujjar (kebangkitan kaum saudagar ) Pada tahun berikutnya 1918 beliau pindah ke surabaya  mendirikan kelompok Taswirul Afkar/konseptualisasi pemikiran atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri.sebagai langkah konkrit dari taswirul afkar kemudian muncul madrasah Nahdlatul Wathan, madrasah Nahdlatul Wathan mempunyai cabang di beberapa kota hingga bermuncullan madrasah serupa dengan nama hidayatul wathan, far’ul Wathan. Istilah Wathan yang berarti “bangsa”, merupakan pilihan nama sebagai salah satu bukti jiwa nasionalisme  yang timbul pada saat itu.

Daulah Utsmaniyah
Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.
            Pada akhirnya kekuasaan berhembus ke Mekkah, walaupun seacara De facto tidak seperti sesungguhya kekuasan Daulah-daulah sebelumnya, namun letak kawasan ini ditunjang dengan keberadaan aktivitas haji yang di langsungkan di tempat tersebut, memberikan dampak yang terasa pada kaum muslim di Negara-negara lain, hingga pada akhirnya Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, hal ini mendapat tanggapan keras dari kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, kalangan pesantren di Indonesia khususnya menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban yang direncanakan oleh raja Saud. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah bersama Syekh Ahmad Ghonaim (mesir) dan Kyai Asnawi (kudus) dengan dukungan penggalangan dana dari H Hasan Gipo dan H Burhan utusan Komite Hejaz akhirnya diberangkatkan.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
   
Nahdlatul Ulama
Setelah Komite Hijez menjalankan tugasnya, maka muncullah inisiatif terhadap pembentukan  organisasi yang meneruskan konsep dan pikiran-pikiran kalangan pesantren pada saat itu, hingga akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) berdiri pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Dalam rapat para pengagas yang dilaksanakan di kertopaten Surabaya muncullah nama organisasi (Nahdltul Ulama) yang sampai hari ini kita kenal, nama tersebut pertama di usulkan oleh KH Mas Alwi bin Abdul Azis yang istilah tersebut pernah disampaikan oleh Kyai Abdul Hamid pimpinan pesantren Sedayu gresik, menurut Gus Dur istilah tersebut mendapat inspirasi dari Maqolah Syekh Ibn Atho’illah Al isskndari dalam kitab Syarah Hikam :
لاتصحب من لم ينهضك حاله ولا يدلك على الله مقاله 
Jangan engkau jadikan teman orang yang tingkah dan perkataannya tidak membangkitkan dan menunjukkan terhadap ALLAH.
            Nahdlatul Ulama di pimpin oleh Rais Akbar pertama Yaitu KH Hasyim Asyari serta ketua Tanfidz pada saat itu H Hasan Gipo, organisasi ini juga didukung oleh ulama-ulama pada saat itu diantaranya Kyai Ahyat (kebondalem), Kyai Mas Alwi Bin Abdul Aziz, Kyai Wahab Hasbullah, Kyai Mas Nawawi (pasuruan) Kyai Bisri syamsuri, Kyai Abdullah Faqih maskumambang (Gresik), Kyai Asnawi (kudus), Kyai Dahlan Abdul kohar (mojokerto), Kyai Raden Muntoha (madura), serta sederet nama Kyai yang tidak tersebut.
Selanjutnya untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
NU dan Perjuangan Bangsa.
Perjalanan bangsa Indonesia seiring dengan terjadinya penjajahan memberikan ruang yang jelas terhadap bukti dan komitmen kebangsaan  terhadap para pejuang dan patriot-patriot bangsa. NU yang diisi oleh putra-putra bangsa dari kalangan pesantren juga tak kalah telah memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan mempertahankan tanah air, walaupun tak tercatat secara jelas di buku-buku sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, para kyai dan generasi dari kalangan pesantren ini telah mampu membuktikan jiwa nasionalismenya, kita tengok saja diantaranya ketika  muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin menghasilkan consensus terhadap kewajiban membela tanah air meskipun dibawah kekuasaan pemerintah  hindia belanda, karena para ulama berpendapat meski saat itu Indonesia berada dibawah kekuasaan hindia belanda, namun masyarakat muslim menjadi sebuah komunitas yang harus dilindungi meskipun berada pada entitas Negara tidak berasas islam.

Pada tahun 1937 Kyai wahab, Kyai dahlan (kebon dalem) dan Kyai Mas Mansur serta beberpa tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama mempelopori pembentukan  majelis Islam A’la yang menuntut  Indonesia  untuk berparlemen. Seiring dengan pembentukan majelis Islam A’la, nahdlatul ulama juga mendirikan badan waqaf yang menangani harta Waqaf untuk mengurusi kepentingan social Nahdlatul ulama, atas prakarsa ketua Tanfidz PBNU Kyai Mahfud Sidiq pada saat itu juga dibentuk  badan-badan koperasi yag disebut syirkah mu’awanah yang tersebar pada cabang NU  pada saat pemerintahan Hindia Belanda . Pada Muktamar ke 13 di Menes (Banten) NU membentuk lembaga pendidikan Ma’arif yang diketuai oleh Kyai Wahid Hasyim.

Pada saat penjajahan jepang, Para tokoh-tokoh NU juga memberikapan sikap yang jelas terhadap penyimpangan-penyimpangan kebijakan pemerintah jepang diantaranya ketika pemberlakuan kebijakan membunkukkan badan 90 derajat pada kaisar jepang tenoheka yang dianggap sebagai manefistasi keturunan dewa matahari, Kyai Hasyim Menolak keras kebijakan tersebut hingga beliau dan beberapa Ulama NU yang lain ditangkap kemudian dijebloskan kedalam penjara di mojokerto kemudian di pindah Kepenjara Bubutan Surabaya selama Kurang lebih selama 6 bulan, Pada saat dipenjara, Kyai Hasyim juga mendapatka perlakuan keras dari jepang hingga pernah tangan beliau yang kiri di pukul hingga memar hancur tidak bisa digerakkan, Reaksi keras kemudian dating dari para ulama, berkat jasa Kyai Wahab dan Kyai Wahid Hasyim akhirnya Kyai Hasyim dibebaskan,  setelah Kyai Hasyim keluar dari penjara, beberapa kali pemerintah Jepang menawarkan jabatan kepada beliau, Namun beliau menolak tawaran Tersebut.
Pada Perang 10 November di Surabaya, Bung Tomo juga mendapatkan Inspirasi dan dukungan penuh dari tokoh-tokoh NU, karena sebelumnya tepatnya pada tanggal 21-22 Oktober, Kyai dan Ulama Se jawa dan Madura Bekumpul  di bubutan Surabaya yang menghasilkan fatwa Jihad, dari resolusi jihad yang ditanda tangani Kyai hasyim ini muncullah patriot-patriot yang berasal dari santri yang tergabung dalam lascar-laskar pembela kemerdekaan diantaranya Laskar Hizbullah pimpinan kyai Zainul Arifin,Laskar  Sabilillah pimpinan kyai maskur , dan lascar Condromowo Kyai munasir Ali (mojokerto). Dari Markas besar Oelama yang terletak di daerah Waru Sidoarjo para ulama melakukan konsolidasi dan menyaipkan logistic perang, Hasilnya pada tanggal 10 November belanda dan sekutunya tidak mampu menguasai tanah air khusunya Surabaya,  meskipun para ulama dan tokoh pesantren yang menjadi inspirasi semangat dan gigihnya perjuangan pada 10 november tidak tertuliskan dalam sejarah, namun jiwa nasionalisme yang mereka miliki telah membuktikan bahwa NU dan bangsa Indonesia mempunyai pengalaman sejarah yang nyata, resolusi jihad yang dikeluarakan oleh NU adalah fatwa jihad pertama yang berlaku pada Negara yang tidak berasaskan Islam. Selanjutnya peran para tokoh NU juga bisa kita lihat pada penumpasan Gerakan 30 SPKI, dan juga pembelaan terhadap tanah air melalui gerakan-gerakan fisik dan pemikiran.
Pesantren dan karya ulama
Pondok pesantren panji buduran sidoarjo didirikan tahun 1850, dipesantren ini para ulama NU menggali ilmu, diantranya Kyai HasyimAsyari, Kyai Bisri Samsuri, Kyai Umar (jember), Kyai Samsul arifin (asembagus), Syaikhona Kholil (Bangkalan,Madura). Syaikhona Kholil yang merupakan guru dari bebrapa Ulama khususnya dijawa telah mengantarkan para ulama meneruskan silsilah keilmuan yang dikembangkan lewat pesantren-pesantren, beberapa kitab-kitab yang menjadi literatur pesantren adalah kitab yang berskala international, hingga tak jarang banyak alumni pesantren yang meneruskan pendidikan ditimur tengah dapat beradaptasi dengan cepat, selain itu karya-karya ulama juga banyak yang menjadi literatur dan dikenal dinegara lain diantaranya : Kitab Sirajut Tholibin Syarah Minhajul abidin (al-Ghozali) Yang dikarang oleh kyai Ihsan Jampes (kediri) menjadi litertur diperguruan tinggi Al-Azhar Mesir , Syek Nawawi yang berkarya dalam Tafsir An-nur, Kyai Mahfudz (Tremas) yang kitabnnya tentang Mustolah Hadis juga menjadi literature Di Al-azhar Mesir,
Itulah sejarah singkat Nahdlatul Ulama yang mengalami sejarah panjang bersama bangsa Indonesia.
Oleh; M. Ulil Abshor As Sibthy

24 April 2013

Pasuruan yang dahulu disebut Gembong merupakan daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur yang beragama Hindu. Pada dasawarsa pertama abad XVI yang menjadi raja di Gamda (Pasuruan) adalah Pate Supetak, yang dalam babad Pasuruan disebutkan sebagai pendiri ibukota Pasuruan.
 
Menurut kronik Jawa tentang penaklukan oleh Sultan Trenggono dari Demak, Pasuruan berhasil ditaklukan pada tahun 1545. Sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.
Pada tahun 1617-1645 yang berkuasa di Pasuruan adalah seorang Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Ddrmoyudho I. Berikutnya Pasuruan mendapat serangan dari Kertosuro sehingga Pasuruan jatuh dan Kiai Gedee Kapoeloengan melarikan diri ke Surabaya hingga meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Bibis (Surabaya).
Selanjutnya yang menjadi raja adalah putra Kiai Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II (1645-1657). Pada tahun 1657 Kiai Gedee Dermoyudho II mendapat serangan dari Mas Pekik (Surabaya), sehingga Kiai Gedee Dermoyudho II meninggal dan dimakamkan di Kampung Dermoyudho, Kelurahan Purworejo, Kota Pasuruan. Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) hingga meninggal dunia pada tahun 1671 dan diganti oleh putranya, Kiai Onggojoyo dari Surabaya (1671-1686).
 
Kiai Onggojoyo kemudian harus menyerahkan kekuasaanya kepada Untung Suropati. Untung Suropati adalah seorang budak belian yang berjuang menentang Belanda, pada saat itu Untung Suropati sedang berada di Mataram setelah berhasil membunuh Kapten Tack. Untuk menghindari kecurigaan Belanda, pada tanggal 8 Februari 1686, Pangeran Nerangkusuma yang telah mendapat restu dari Amangkurat I (Mataram) memerintahkan Untung Suropati berangkat ke Pasuruan untuk menjadi adipati (raja) dengan menguasai daerah Pasuruan dan sekitarnya. Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro. Selama 20 tahun pemerintahan Suropati (1686-1706) dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran melawan tentara Kompeni Belanda. Namun demikian dia masih sempat menjalankan pemerintahan dengan baik serta senantiasa membangkitkan semangat juang pada rakyatnya.
 
Pemerintah Belanda terus berusaha menumpas perjuangan Untung Suropati, setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Belanda kemudian bekerja sama dengan putra Kiai Onggojoyo yang juga bernama Onggojoyo untuk menyerang Untung Suropati. Mendapat serangan dari Onggojoyo yang dibantu oleh tentara Belanda, Untung Suropati terdesak dan mengalami luka berat hingga meninggal dunia (1706). Belum diketahui secara pasti dimana letak makam Untung Suropati, namun dapat ditemui sebuah petilasan berupa gua tempat persembunyiannya pada saat dikejar oleh tentara Belanda di Pedukuhan Mancilan, Kota Pasuruan.
 
Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).
Onggojoyo yang bergelar Dermoyudho (IV) kemudian menjadi Adipati Pasuruan (1707). Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan, yang menjadi patihnya adalah Kiai Ngabai Wongsonegoro.
 
Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai Ngabai Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro. Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan di Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup penting sehingga menjadikannya sebagai ibukota karesidenan dengan wilayah: Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Bangil.
 
Karena jasanya terhadap Belanda, Kiai Ngabai Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro. Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel, Surabaya. Pada saat dihadiahkan, Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Groedo. Saat Kiai Ngabai Wongsonegoro meninggal dunia, Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun menggantikan kedudukannya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal 27 Juli 1751).
 
Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8 November 1799). Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama-sama Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slagah).
Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809, Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari 1833 dan dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar. Penggantinya adalah Raden Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.
 
Pemerintahan Pasuruan sudah ada sejak Kiai Dermoyudho I hingga dibentuknya Residensi Pasuruan pada tanggal 1 Januari 1901. Sedangkan Kotapraja (Gementee) Pasuruan terbentuk berdasarkan Staatblat 1918 No.320 dengan nama Stads Gemeente Van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.
Sejak tanggal 14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonomi yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa. Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.
                                                                                       Oleh; Moch Oelil Abshor As Sibthi


Pondok Pesantren Besuk adalah salah satu Pondok Salaf di Pasuruan Jawa Timur, Pondok salaf ini mengajarkan beberapa Ilmu Agama secara mendalam dengan sistem pendidikan Salaf (bandungan, sorogan, musyawaroh, muroja’ah, bahtsul masa’il, khithobah, qiro’ah, tahfidzul qur’an dan sekolah). Didirikan pada th 1881 M.(1299 H.). Besuk adalah nama dari hutan belantara yang dibabat (dibuka) oleh mendiang KH. Aly Murtadlo, masyarakat sekitar menyebut daerah ini dengan sebutan Alas Besuk. Area Besuk ini berlokasi didesa Tanggulangin kec. Kejayan kab. Pasuruan Jawa Timur, ± 7 km arah selatan dari kota Pasuruan menuju Malang. Luas area Besuk ± 12 hektar. yakni area yang dikelilingi sungai ditambah utara jalan raya sampai dengan 50 meter kebarat Gapura besuk, dan area ini hanya dihuni oleh Dzurriyah KH Aly Mutradlo dan para santri.

Periode I tonggak sejarah dan pondasi masa depan Pondok Besuk itu diketahui telah di bangun pada tahun 1299H. / 1881M. oleh Hadrotussyeh KH. Aly Murtadlo. Pada tahun itulah secara resmi ditetapkan sebagai tahun kelahiran Pondok Pesantren Besuk, dan Hadrotussyeh KH. Aly Murtadlo sebagai muassis (pendiri) sekaligus pengasuh yang pertama. Selama 40th. Generasi kedua terjadi antara tahun 1339 H. /1921 M. Pondok Pesantren Besuk diasuh oleh KH. Badar, (KH. Baqir) selama 21th, didampingi oleh kiai Mas Ahmad Zahid. Diperiode II ini menghasilkan banyak jebolan ahli falaq.
Periode III antara tahun 1362 H / 1942 M. Nahkoda PP. Besuk dipegang oleh KH. Masyhadi yang didampingi Kiai Mas Ahmad Zahid, Kiai Mas Aly Baqir, Kiai Mas Mahfudz, Kiai Mas Ahmad Mutamakkin. Diperiode ini PP. Besuk lebih berkosentrasi pada perjuangan melawan para agresor. Dan pada akhirnya, pipa besi laras panjang mengantar kematiannya, setelah beliau menjadi pengasuh Pondok Besuk periode III, selama lima tahun saja.
Periode IV pada tahun 1367 H / 1947 M. Pengasuh PP. Besuk adalah KH. Ahmad Djufri selama 34th, (1947-1981). pada awal periode IV ini, beliau didampingi Kiai Mas Ahmad Zahid, Kiai Mas Aly Baqir, Kiai Mas Mahfudz, Kiai Mas Ahmad Mutamakkin. Dimasa ini PP. Besuk masih eksis terlibat dalam perang mempertahankan kemerdekaan RI.Baru ditahun-tahun berikutnya PP. Besuk mulai berkosentrasi membangun sarana dan prasarana Pondok Pesantren dan mengalami kemajuan yang signifikan mulai dari sistim pendidikan belajar mengajar, setruktur kepengurusan dan fasilitas hunian santri.
Diera 60an – 80an Beliau dibantu oleh beberapa keponakan dan menantunya dalam operasional proses belajar mengajar di Besuk. Mereka adalah Kyai Aly Baqir (semenjak tahun 1947), Kyai Achmad Mutamakkin (semenjak tahun 1947), Kyai Abdullah Thohir (semenjak tahun 1959) Kyai Suchaimi Muchsin (semenjak tahun 1960), Kyai Chamzah Achmad (semenjak tahun 1962), Kyai Muchammad Subadar (semenjak tahun 1961 namun tahun berikutnya beliau hanya berkosentrasi keorganisasi IPNU sejak 1964-1967. Baru pada tahun 1967 beliau kembali membantu mengurus Pondok Besuk), Kyai Munir Aly (semenjak tahun 1967-1979), dan Kyai Anshor Ghozali (semenjak tahun 1967) Kiai Jusbaqir (tahun 1970-1971) dan beberapa santri senior lainnya.
Sedangkan para keluarga putri dikosentrasikan untuk terjun langgsung menangani Pondok putri, diantara mereka adalah Ibu Nyai Chumaidah, Ibu Nyai Asiyah, Ibu Nyai Zainab, Ibu Nyai Chalimah, Ibu Nyai A'isah. Dengan bekerja sama saling membahu mencanangkan pembangunan Pondok dan Madrasah putra putri.
Pada periode IV inilah Pondok Besuk melangkah lebih berani memperkenalkan dan mengaktualisasikan sistim pendidikan modern-klasikal yang pernah ditanamkan oleh mendiang Kyai Masyhadi namun tidak direalisasikan dengan optimal karna berkecamuknya perang melawan Belanda. Meski terlihat sederhana, lahirlah Madrasah Ibtida'iyah dengan masa pendidikan 6 tahun yang diresmikan Hadratussyekh KH. Achmad Djufri pada tanggal 12 Agustus 1961 M. dengan nama Madrasah Raudlatul Ulum KH. Suchaimi Muchsin diangkat menjadi kepala Madrasah putra. Dan kepala Madrasah putri dipegang oleh Ibu Nyai Hj. Chumaidah. Pertengaan tahun 1386 H./ 1966 M., angkatan pertama murid Madrasah Raudlatul Ulum Besuk telah menamatkan pendidikannya. Kyai Aly Baqir bersama Bpk. Abdurrochman Syakur ber inisiatif mencanangkan pendidikan lanjutan, guna memberi wadah bagi para santri yang masih haus akan pengajaran para masyayikh. Pada tahun 1967, Pondok Besuk melangkah lebih progresif dengan berdirinya Madrasah lanjutan; Madrasah Mu'allimin. Yang dikepalai KH. Muhammad Subadar. Lulusan pertama Madrasah Mu’allimin 3th. Pada tahun 1970M. tiga tahun kemudian (1973) dicanangkan program peraktek mengajar bagi kelas akhir (4th.) untuk meningkatkan mutu, dan diwajibkan bagi mereka yang lulus tes (kls 4 M), melaksanakan tugas mengajar selama satu tahun sebagai persyaratan mendapat ijazah. Tahun 1981M. sekolah Mu’allimin menjadi 5th. + tugas mengajar 1th. Berarti masa pendidikan Mu’allimin 6 tahun.Kemudian, diikuti dari sebuah perkembangan, KH. Muchammad Subadar mendorong lahirnya Madrasah Mu’allimat yang diresmikan pada tanggal 3 januari 1971 M.
Periode V pada tahun 1401 H / 1981 M. Pondok Besuk dan Madrasah “Raudlatul Ulum” diasuh oleh tiga orang. Mereka adalah KH. Muhammad Subadar, KH. Ahmad Mutamakkin dan KH. Chamza Ahmad. Dan usia PP. Besuk genap 100 tahun ketika wafatnya KH. Ahmad Djufri.Sedangkan yang membantu kepengurusan PP Besuk dan Madrasah Raudlatul ulum adalah: KH. Suchaimi Muchsin, KH. Abdulloh Thohir, Kyai Mas Anshor Ghozali. Mereka semua bertanggung jawab sebagai pengurus Pondok Pesantren Besuk dan Madrasah Roudlatul Ulum Besuk putra putri generasi V secara keseluruhan.
Sedangkan yang menangani langsung mengurus pondok putri adalah ibu nyai Hj. Chumaidah, ibu nyai Hj. Asiyah yang di bantu oleh keluarga putri Besuk yang lain termasuk para pemudinya dan beberapa seniorita santriwati. Tak ketinggalan juga para pemuda Besuk dan beberapa santri seniornya membantu menangani pondok putra. Di abad ke 21 ini pengasuh PP. Besuk putra-putri adalah KH. Muhammad Subadar. Dan yang menangani Pondok dan Madrasah putra secara langsung atau yang disebut dengan Mudir adalah KH. Abdullah Zaini. Mudir Pondok dan Madrasah Putri Ibu Nyai. Hj. Chumaidah. Pada tahun 2005 M. Masa pendidikan Madrasah Mu’allimat menjadi 6 tahun yang disamakan dengan masa pendidikan Madrasah Mu’allimin yakni sampai dengan kelas 5 + 1 th tugas mengajar. Usia PP.Besuk sampai tahun 20011 ini adalah 131 tahun.
Pendidikan Non Formal
Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan secara klasikal dengan menggunakan kurikulum salafi. madrasah ini bersifat klasikal artinya para siswa di klasifikasikan berdasarkan kemampuan mereka masing-masing sekaligus juga menjawab masalah kesenjangan kemampuan diantara para santri pondok pesantren Besuk. Pendidikan ini menekankan pentingnya pemahaman akan kebutuhan santri dan cara pemecahan masalah yang terjadi di masyarakat dengan menggunakan potensi yang ada di masyarakat yang sesuai dengan akidah ahkussunnah wal jamaah. Disamping itu, para santri juga dibekali dengan ilmu-ilmu alat seperti Nahwu dan Shorof agar nantinya para santri dapat memahami kitab kuning secara mandiri dan mampu mengembangkan pendidikan selama berada di pondok pesantren.

Tingkat pendidikan di Pondok Besuk ini mulai berjenjang dari tingkat Ibtidaiyah (6 tahun), tingkat Tsanawiyah (3 tahun) dan tingkat Aliyah (3 tahun). Sementara untuk pendidikan formal yakni pendidikan formal berijazah Nasional (Wajardikdas). Sejalan dengan tujuan awal, kegiatan ini diatur dengan tidak merubah system pendidikan dan kegiatan pondok pesantren yang selama ini sudah berjalan. Dalam menerapkan pendidikan sebagaimana di atas pengurus Program Wajar Dikdas telah menetapkan jadwal kegiatan ini dilaksanakan pada waktu pagi dan siang 2 hari dalam seminggu, hal ini dikarenakan Proses pembelajaran Madrasah Diniyah dilaksanakan pagi dan siang selain itu karena terdapat kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan pagi selain hari sabtu dan ahad, sehingga siswa yang sekolah di madrasah diniyah pada pagi hari wajib mengikuti pembelajaran dalam program ini yang dilaksanakan siang, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, santri pondok pesantren dapat mengikuti program Wajar Dikdas tanpa mengurangi aktifitas pondok pesantren. Secara umum, program ini terbagi menjadi dua jenjang, yaitu program ULA atau setingkat Sekolah Dasar (SD), program Wustho atau setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) program Wustho ditempuh selama 3 tahun.

Untuk membekali santri, setiap santri diwajibkan menempuh pendidikan khas pesantren yakni Tahfidzul Qur’an, Ta’limul Qur’an, Qiroatul Qur’an bit Tartil Wat Taghonni, Belajar al-Qur’an dengan Metode Yanbu'a, Kursus Mu’allim Al Qur’an, dan Pengajian Kitab Kuning, Sorogan, Setoran Hafalan dan Halaqoh. Untuk menunjang ketrampilan agar santri bisa mampu dan siap berkiprah di masyarakat, para santri bisa memilih pendidikan ketrampilan pesantren seperti seni Hadrah, khitobah, Kursus Kaligrafi, Kursus Komputer, Kursus Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dan seni Bela Diri.
Pengajian kitab kuning secara terjadwal bisa diikuti oleh santri-santri yang telah menempuh kitab-kitab yang dipersyaratkan. Adapun jenis pengajian kitab kuning di pagi hari antara lain Kitab Tafsir Jalalain (diasuh oleh KH Muhammad Subadar), Al-Mahalli (diasuh oleh KH Muhammad Subadar), Nashaih Ad Diniyah (diasuh oleh KH. Abdul Chalim), Al-Muwatho’ (diasuh oleh KH. Abdul Chalim), Shahih Muslim (diasuh oleh KH. Lukman Hakim), Ihya’ Ulumuddin (diasuh oleh KH. Lukman Hakim), Tausyich Al Ibni Qosim (diasuh oleh KH. Safrijal), Sedangkan pengajian sore hari yaitu: Ihya’ Ulumuddin (diasuh oleh KH Muhammad Subadar), Fathul Qorib (diasuh oleh KH Muhammad Subadar). Sementara pada malam harinya para santri bisa mengaji kitab Bughyatul mustarsyidin karya habib Abdurrochman al-Masyhur (diasuh oleh KH. Imron Mutamakkin). 
Crew; Redaksi
PENA SANTRI merupakan sebuah blog hasil karya santri pondok pesantren Besuk di bawah naungan Perpustakan Pondok Pesantren Besuk. Lahirnya Blog tidak lain agar supaya santri berlomba-lomba untuk selalu berkarya dengan melalui tulisan. Karena selain santri dituntut untuk memperdalam ilmu syari'ah di Pondok Pesantren, mereka juga diharuskan untuk menyebar luaskan ilmu yang mereka dapat. Caranya berbeda-beda, termasuk dengan melalui karya berupa tulisan. Dengan demikian hadirnya Blog PENA SANTRI ini sangatlah membantu mereka untuk mengungkapkan isi hati, juga dapat menjadi sebuah media meyebarkan ilmu yang telah digali di Pondok Pesantren. Media Ini beranggotakan 14 Orang: Ust. H. Muhammad Aris Alwan (Penasehat), M. Ulil Abshar As Sibthy (PimRed), Abdulloh (Sekretaris), Abdurrochman (Keuangan), Muslich, Achmad Muchammad, Fu'ad Kamilun (Pembantu Umum). Baru-baru ini sekitar sepekan crew redaksi mempunyai inisiatif ingin membuat blog yang bisa dinikmati oleh masyarakat umum, karena yang dinamakan dakwah tidaklah hanya ditempat dimana seseorang tinggal melainkan keseluruh lapisan masyarakat. Dan akhirnya dengan izin dan rildo Alloh dapatlah terwujud keinginan kami. Semoga dengan terlahirnya Blog PENA SANTRI ini mendapat ridlo dan pertolongan dari Alloh subhanahu wa ta'ala. Amiiin
Crew; Redaksi