|
Prosesi Tajhiz Mayit |
Pondok
Pesantren adalah satu-satunya lembaga yang menuntut seseorang membuka kedua mata untuk memandang
masa depan dengan cerah, mengajarkan untuk memanfaatkan hidup di dunia dengan
se
baik-baiknya, tanpa sedikitpun melupakan akhirat yang lebih panjang
perjalanannya.
Walau pondok pesantren hanya dipandang sebelah mata, karena
tak mampu mencetak “D”, “S” dan sesamanya. Namun dalam pandangan masyarakat umum, santri jauh lebih
disegani, hal ini nampak dari aktifitas kemasyarakatan yang pada umumnya di
handle oleh para santri, misalnya guru TK/RA, guru-guru agama SD/SMP dan lain
sebagainya, bahkan dalam hal ini santri jauh lebih berpotensi, meski tidak
pernah belajar di perguruan tinggi.
Memang untuk saat ini pemerintah hanya menggembar-gemborkan
gelar, yang gurunya harus minimal S1-lah, yang penghulunya
harus SH-lah,
inilah, itulah, yang jelas tidak masuk akal sehat.
Dalam melancarkan propagandanya, pemerintah menjanjikan honor yang lebih tinggi
atau lapangan kerja yang mudah didapat dengan “S”. Ironisnya, para santri termakan oleh iming-iming “dunia” pemerintah.
Hai sahabat seperjuangan! mengapa harus santri yang kalah dengan pemerintah. Harusnya santri tetap teguh pendirian, bahwa santri bisa berdiri tegak tanpa uang pemerintah. Bukan saatnya kita semboyan “mengalah
bukan berarti kalah”. Tapi harga diri, ketika kita meng-iya-kan program
pemerintah, itu berarti kita telah menukar muru’ah (harga diri) santri, karena
ustadz bukan hasil dari “kejar paket”.
Sepintas memang masuk akal jika dimakan mentah-mentah dalih pemerintah yang mengharuskan
pendidikan guru baik RA/MI minimal S1, agar supaya kualitas murid lebih baik. Namun pada kenyataannya hal ini sangat
tidak terbukti, karena pemerintahpun ikut andil dalam memanipulasi gelar dengan
“kejar-kejaran” atau sekolah paket. Tahukah anda mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya
ada pada selembar kertas, ya, dengan uang seseorang bisa membeli sebuah gelar. Lalu siapa yang akan bertanggungjawab dengan guru gelar
“S” instantnya yang sangat tidak berbobot, sedang pemerintah tidak mau tahu
dengan hasilnya, karena mereka terlalu enak duduk di kursi dan tidak mau terjun
ke lapangan. Bahkan
dengan keangkuhannya hanya bisa bersikeras “Seng jelas kudu S1”.
Subhanallah.......
|
Pemantapan Akidah Aswaja |
Lalu mau dibawa kemana Bangsa Indonesia kedepannya?
Harusnya jika demi potensi generasi yang menjadi dalih,
pemerintah bisa melakukan tes kelayakan guru, bukan hanya membuka peluang
dengan hanya memandang gelar atau nilai ijazah yang tidak murni dihasilkan dari
kerja otaknya. Ada pula yang mengemukakan alasan agar
Bangsa Indonesia tidak dipandang rendah oleh bangsa lain. Ok! Hal ini juga
sepintas masuk akal, namun jika manipulasi gelar itu masih terus berlangsung,
apakah tidak lebih memalukan dunia pendidikan!. Cobalah kita menengok, bagaima Jepang
bisa menjadi nomer wahid di dunia teknologi? Karena mereka menomer-satukan
kemampuan daripada hanya sebuah gelar fiktif.
Berdiri Sendiri
Tugas
seorang santri saat ini adalah
berdiri tegak tanpa menggantungkan
diri kepada pemerintah. Biarkan saja pemerintah menganggap jebolan pondok pesantren hanyalah guru spiritual yang lugu. Namun kita buktikan bahwa santri lebih profesional dan tidak ketinggalan jaman. Maka wahai santri, tetaplah kita pertahankan ijazah
tak bergaruda kita, mari kita buktikan bersama-sama bahwa kita lebih layak. Yakinlah
bahwa Santri jauh lebih banyak yang potensial daripada hanya sekedar “S”.
Tujuan Mencari Ilmu
Apa yang dikejar dalam sekolah pencetak gelar?, hanya sebuah materi yang nilainya hanyalah sebuah bentuk
kepuasan dunia. Banyak para santri yang sudah menjadi guru disegani dan dihormati,
tetapi masih kurang puas dengan apa yang ia dapat hingga harus jatuh bangun
sekolah kejar-kejaran demi sebuah kucuran dana yang dijanjikan oleh pemerintah
yang lambat laun tanpa sadar akan membuahkan ketamakan.
Karena, selain pondok pesantren yang kata orang ketinggalan
jaman, tidak ada lembaga-lembaga yang mengajarkan bahwa dunia ini adalah milik
orang-orang yang meninggalkannya, dunia akan terasa luas bagi orang yang puas
dengan apa yang ia dapat. Pondok pesantren mengajarkan,
inilah kami para santri dengan budaya santri yang tampil apa adanya.
Ketulusan
Santri! Ketahuilah bahwa “santri” dengan
sendirinya sudah menjadi maha sarjana meski tanpa gelar “S” atau sesamanya. Disadari
atau tidak, “S” hanyalah sebuah sarana di mana fulus menjadi mulus, bukan
sebuah gelar yang disandang dengan ikhlas dan tulus. Terbukti ketika santri hanya menyandang gelar ustadz
dengan bisyaroh yang apa adanya, mereka akan berucap syukur alhamdulillah.
Namun, demikian itu akan berubah saat “S” sudah menjadi gelar tambahan mereka.
Lalu dengan realita seperti ini, apakah
mereka tidak segan mengatakan bahwa “GURU adalah PAHLAWAN TANPA TANDA
JASA”. Sedang sekolah-sekolah yang kini sudah mendapatkan dana BOS
(Biaya Operasional Sekolah) masih saja memungut dana yang katanya untuk
pembayaran kegiatan ekstra kurikuler yang cukup memberatkan. Memang ilmu itu
mahal, tapi mereka yang berkehidupan pas-pasan, hal itu akan sangat membebani
diluar kemampuan mereka, sehingga banyak siswa yang tidak mampu berhenti sekolah,
mereka tidak bisa lagi mengenyam pendidikan yang sangat mahal hanya karena
keserakan orang-orang yang tak berperasaan.
Jangan
mengira bahwa ijasah tanpa garuda tidak bisa terbang tinggi, karena ijasah
kita adalah ayat:
يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين اوتوا العلم
درجات
Ayat di atas memiliki arti jauh lebih tinggi dan abadi serta jauh lebih
mengangkat martabat penuntut ilmu daripada garuda yang takkan lagi mampu terbang tinggi saat
sayapnya rapuh dan hanya berumur sementara. Dalam hal ini sama
sekali saya tidak bermaksud meremehkan atau menyepelekan lambing-lambang Negara
sedikitpun. Namun,
hanya mencoba menyelaraskan pemikiran
tentang anggapan-anggapan miring mengenai ijasah ber-garuda vs ijazah ber-ayat
Al-Qur’an. Dari sudut
pandang yang mana ijasah tersebut dikatakan tidak dapat dipertanggung-jawabkan
kualitas dan kuantitasnya? padahal ijazah itu jelas diraih oleh para santri
dengan Study Full Day, riyadloh, dan tanpa contek-menyontek
massal. Hal ini jelas berbeda dengan ijazah Garuda yang sudah
menjadi rahasia umum bahwa ijazah tersebut diraih dengan cara yang curang.
Belum lagi kelakuan para siswa yang sering keluyuran dijalanan, urak-urakan,
menyia-nyiakan waktu mereka demi kesenangan yang mereka buat sebagai dalil penghilang
stress, lalu
inikah yang akan menjadi masa depan bangsa yang dapat dibanggakan?. Tidakkah lebih bermanfaat jika penghilang stress itu
adalah istirahat di rumah, sholat, mengaji atau apalah yang lebih bermanfaat
dan lebih bisa mengangkat harkat dan martabatnya.
Demi Agama, Bangsa dan
Negara
Indonesia
adalah negara bodoh, negara miskin, negara pembantu, dan negara pengemis. Itulah
predikat yang sering didapatkan oleh Bangsa Indonesia dari
negara tetangga. Sungguh menyayat hati, namun bagaimana mungkin negara-negara lain tidak mengatakan Indonesia adalah negara yang bodoh, sedang kita memang
mudah dikibuli.
Jika
seseorang dikatakan sebagai
orang yang bodoh, sebodoh apapun dia saya yakin dia tidak akan terima, bahkan ia akan menepis semua tuduhan-tuduhan tersebut dengan menunjukkan
kelebihan-kelebihan
yang
ada pada dirinya. Lalu mengapa hal ini tidak dilakukan untuk bangsa dan negara, tidakkah kita tahu bahwa cinta kita pada negara adalah sebagian dari iman. Cinta bukan hanya setia
menemani, namun harus dibuktikan dengan sikap yang patut dibanggakan oleh negara yang kita cintai. Agar tidak ada
sedikitpun alasan bagi mereka untuk melecehkan bangsa kita.
Namun,
melihat fakta yang terjadi pada kebanyakan muda-mudi bangsa kita, jelas tidak
akan bisa membawa negara ini pada keadaan yang lebih maju. Karena tidak ada
keseimbangan antara pendidikan akhlak dan agama dengan pendidikan umum.
Mari kita buka hati kita untuk menanamkan rasa
bahwa Indonesia milik kita bersama, entah itu “S” ataupun Santri. Dan Engkau wahai
Santri! Pertahankan apa yang terbaik milik kalian demi agama, bangsa dan
negara. Yakinlah bahwa engkau adalah generasi terbaik dan pantas dibanggakan.**DYN