12 Juni 2013


           Senada dengan kitab al-Furu’, di dalam kitab al-Inshaf fi Masa'il al-Khilaf disebutkan bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jailani menulis di dalam kitabnya al-Ghuniah, sesungguhnya Allah memilih empat bulan di antara bulan-bulan, yaitu Rajab, Sya'ban, Ramadlan, dan Muharram, dan Allah memilih bulan Sya'ban sebagai bulan Nabi, seperti halnya nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah paling utama dari para nabi, maka bulannya adalah bulan yang paling utama.

            Memasuki bulan Sya'ban yang pada tahun ini bertepatan dengan tanggal 10 Juni 2013 patutlah kita membuka kembali jejak masa lalu, apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad saw, seperti apa ibadahnya di bulan itu, dan sudah sesuaikah kita dalam meniru perbuatan dan ibadahnya. Tak sedikit orang yang menganggap bahwa setiap bulan itu biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa, tak sedikit pula yang mengetahui ada waktu yang diistimewakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala namun disambut dengan biasa-biasa saja tanpa ada peningkatan amal ibadah, namun tak jarang dari kita yang ingin mengambil kesempatan dari waktu-waktu yang istimewa dengan memperbanyak amal ibadah, akan tetapi karena kekurang-tahuan dalam masalah agama menyebabkan ibadah kita kurang sesuai dengan tuntunan syari'at.

            Rasulullah saw  sendiri sebagai barometer utama umat Islam di dalam bulan Sya'ban memperbanyak berpuasa dari pada bulan-bulan yang lain (selain bulan Ramadlan), puasa beliau di bulan lain tidak sebanyak yang beliau lakukan di bulan Sya’ban. A'isyah ra berkata :

وما رأيته أكثر صياما منه من شعبان (رواه مسلم)

Artinya: "Dan aku tidak pernah melihatnya (nabi Muhammad saw) memperbanyak puasa (di bulan lain) daripada bulan Sya'ban." (HR. Muslim).  Puasa di bulan Sya'ban di dalam keutamaannya menempati urutan kedua setelah puasa bulan Ramadlan. Amal perbuatan diangkat ke langit untuk dihadapkan kepada Tuhan, dan malaikat maut mencatat pada bulan Sya'ban setiap orang yang hendak dicabut nyawanya, itulah alasan mengapa Rasulullah saw memperbanyak berpuasa di bulan tersebut seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Muhib al-Thabari. Juga hadits riwayat Usamah, ia pernah bertanya kepada Nabi: Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain seperti halnya engkau berpuasa di bulan Sya’ban? menjawab Nabi Muhammad saw, Sya’ban adalah bulan yang dilupakan manusia yang ada di antara bulan Rajab dan bulan Ramadlan, di bulan itu setiap amal dihadapkan kepada Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku dihadapkan aku sedang berpuasa. (HR. al-Nasa’i dan Abu Daud).


Nishfu Sya'ban
            Daripada malam-malam lain di bulan Sya'ban, malam tanggal lima belas adalah yang paling istimewa. Malam yang masyhur dengan sebutan Lailah Nishfi Sya'ban (malam separuh bulan Sya'ban) ini dipenuhi kucuran rahmat dan ampunan, pintu langit dibuka siap menyambut hamba-hamba Allah azza wa jalla yang sudi menengadahkan tangan meneteskan air mata untuk berdoa, bersujud memohon ampun serta memperbanyak berdzikir mengingat Allah.

            Di dalam hadits shahih Imam Ibnu Hibban meriwayatkan perihal keutamaan malam kelima belas bulan Sya'ban, berkata A'isyah istri Rasulullah saw; suatu ketika Rasulullah tidak ada di rumah, beliau pergi entah kemana, kemudian aku mencarinya keluar, ternyata beliau berada di suatu tempat bernama al-Baqi' tengah mengangkat tangan keatas, begitu melihatku beliau bertanya; apakah kamu takut Allah dan Rasulnya berbuat tidak adil kepadamu?, aku menjawab; Aku hanya menyangka engkau bersama istrimu yang lain, kemudian beliau bersabda; Sesungguhnya (rahmat) Allah pada malam Nishfu Sya’ban turun ke langit dunia, maka Allah mengampuni dosa melebihi banyaknya bulu domba milik bani Kalb (pada waktu itu tidak ada yang memiliki domba sebanyak bani Kalb).

            Hadits di atas menunjukkan disunatkannya memperbanyak ibadah, berdoa, ziarah kubur, mendoakan mayit dan segala macam ibadah lain di malam tersebut selama tidak bertentangan dengan tuntunan syari’at. Yang membedakan malam Nishfu Sya’ban dengan malam-malam yang lain adalah di malam itu mulai dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar dipenuhi rahmat Allah, bukan hanya di sepertiga malam yang akhir. Bentuk ibadah yang sunat dilakukan bukan khusus ibadah shalat saja, akan tetapi disunatkan memperbanyak segala macam bentuk ibadah. Sedangkan di dalam kitab Kanzu al-Najah wa al-Surur di sunatkan untuk membaca surat Yasin tiga kali.

            Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang masalah shalat yang khusus dilakukan di malam Nishfu Sya’ban (dengan niat shalat Nishfu Sya’ban dan dengan cara-cara khusus, seperti jumlah rakaat seratus), tepatnya antara ulama ahli fiqih dengan ulama sufi (tasawwuf) saling berselisih paham tentang hukum shalat Nishfu Sya’ban, shalat yang dilakukan seratus rakaat di malam Nishfu Sya’ban. Di antara yang mewakili ulama ahli fiqih adalah Imam Nawawi, al-Subuki, Ibnu Hajar, mereka mengatakan bahwa walaupun disunatkan memperbanyak ibadah di malam tersebut, akan tetapi mengkhususkan shalat dengan cara tertentu untuk malam Nishfu Sya’ban adalah bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela), keluar dari tuntunan yang ditetapkan syari’at, shalat tersebut baik dilakukan secara berjamaah maupun sendirian hukumnya haram dan tidak sah, adapun hadits-hadits yang mensunatkannya adalah hadits-hadits maudlu’.

            Sedangkan Imam al-Ghazali, Ali al-Qari, Abu Thalib al-Maki mengatakan seratus rakaat di malam itu adalah sunat berdasar beberapa hadits, mereka menyangkal bahwa bukan berarti tidak diketahuinya beberapa periwayat hadits menyebabkan ke-maudlu’-annya, hendaklah hadits-hadits itu dihukumi dla’if (lemah), dan sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa menggunakan hadits dla’if untuk amalan-amalan sunat adalah boleh. Bahkan Imam Abu al-Laits mengatakan “Jangan didengar pendapat yang mencaci (terhadap shalat Lailatul Qadar dan shalat Nishfu Sya’ban), sebab mereka tidak merasakan manisnya bermunajat, dan syahdunya ibadah.” Sedangkan pendapat lain yang menengah-nengahi adalah pendapat dari madzhab Hanafi yang mengatakan boleh dilakukan dengan syarat sendirian (tidak berjamaah).

            Sebenarnya para ulama yang mengharamkannya sudah memberi solusi jika kita ingin pada malam Nishfu Sya’ban tersebut diisi dengan ibadah shalat yang sesuai dengan tuntunan syari’at dan berdsar pada dalil yang jelas, yakni dengan cara shalat sunat biasa (mutlak) sebanyak-banyaknya, atau shalat tahajjud jika kita bangun tidur, yang penting tidak usah diniati shalat Nishfu Sya’ban. Dengan cara seperti itu shalat kita tidak dipertentangkan keabsahan dan kesunatannya. Absh